Kami pun
terus berjalan-jalan, sesekali dia menngodaku dan kami tertawa bersama. Seperti
sepasang kekasih yang tak bisa terpisahkan. Selama bersama Michizuki aku gak
pernah merasakan ini sebelumnya, aku bener-bener merasa sangat nyaman saat
bersama dengan Ryota.
Tak lama
kami berjalan, kami tiba di depan sebuah sungai. Iya, sungai yang beberapa hari
lalu kami lewati. Dia pun sejenak melihat sungai itu dan mendekat ke tepian sungai
itu. Dia melihat sungai itu dengan sangat dalam, seakan dia lagi jatuh cinta
sama sungai itu.
“Ryota.”
“Iya, kenapa Kinaya?” jawabnya
kaget.
“Kamu suka banget ama sungai ini ya?
Karena sejak pertama kali aku ngeliat, kamu selalu memandangi sungai ini dengan
sedih.”
“Ng..nggak kok. Aku gak sedih,
Kinaya. Aku....”
“Bohong. Kamu pasti bohong. Aku ngeliat
sendiri kamu selalu sedih kalo mandangin sungai ini. Pasti ada suatu kenangan
dengan sungai ini.” Tapi dia hanya terdiam. “Kalo kamu mau cerita, kamu cerita
aja. Aku siap kok jadi pendengarmu yang baik.”
“Aku gak apa-apa kok, Kinaya. Oh
iya, udah sore nih. Kita pulang aja ya.” Dia hendak pergi, namun aku
mencegahnya.
“Ryota. Tolong, jangan menghindar
lagi. Aku kan temanmu, makanya kamu harus cerita ama aku. Jadi kesedihanmu itu
bisa kita bagi berdua.”
“Nggak, Kinaya. Aku gak pengen bikin
kamu ikut-ikutan sedih. Aku pengen kamu selalu bahagia, aku gak pengen bikin
temen baikku yang cantik dan pinter ini sedih.” candanya.
Aku pun
hanya membalas dengan senyuman, kami pun berjalan pulang. Tapi aku yakin,
dibalik senyuman dan candanya itu tersimpan sebuah kenangan tentang sungai itu.
Selama perjalanan, aku liat wajah Ryota sangat hampa. Tak ada lagi canda tawa
seperti yang tadi kami lakukan. Dia hanya terdiam.
Sesampainya didepan
rumah.
“Terima kasih ya, Ryota. Udah nganterin
aku pulang.”
“Iya, sama-sama. Cepet sana kamu
masuk, ini udah malem. Kamu langsung istirahat aja.” Aku hanya mengangguk. “Selamat
malem Kinaya, semoga mimpi indah.” Dia langsung beranjak pergi.
Aku pun
masuk kerumah.
“Aku pulang.” Sapaku.
“Oh kamu baru pulang.” Jawab Ibuku. “Kamu
udah makan belum? Ini Ibu udah siapin makanan.”
“Gak Bu, Kinaya lagi gak enak makan.
Aku mau langsung istirahat aja ya Bu.”
“Ya udah kalo gitu mandi terus
istirahat ya.”
“Iya Bu.”
Saat aku
hendak menaiki tangga....
“Oh iya Kinaya, tadi ada Michizuki
kesini. Dia nyariin kamu.”
“Michizuki?” aku terkejut. “Memang
kenapa dia nyariin aku, Bu?”
“Ibu juga gak tahu. Dia sepertinya
pengen banget ketemu sama kamu. Coba deh kamu telpon dia, mungkin ada sesuatu
yang mau dia bicarakan sama kamu.”
“Ya udah kalo gitu Kinaya mau naik
ke kamar dulu ya, Bu.”
Ibu hanya
tersenyum. Aku pun langsung masuk kamar dan membaringkan tubuhku disana. Sebenernya
kenangan apa ya yang ada di sungai itu? Kenapa dia selalu sedih? Apa kenangan
itu menyakitkan? Apa ini tentang pacarnya? Aku terus aja memikirkan dia. Dan tiba-tiba
angin berhembus sangat kencang, membuat tirai jendelaku terbuka. Aku sampai
terkejut. Aku pun mendekati jendela dan hendak menutup tirainya. Tapi saat akan
menutup tirai itu, tiba-tiba aja Michizuki muncul dihadapanku, hingga membuatku
terkejut dan hampir jatuh ke belakang. Tapi Michizuki dengan sigap menangkap
tubuhku.
“Kenapa sampek terkejut kayak gitu?”
“Ng..nggak apa-apa kok.” Aku pun
berusaha bangun dari pelukannya.
“Apa wajahku ini sangat menyeramkan
bagimu, sampai-sampai bikin kamu terkejut kayak gini. Apa sekarang kamu udah
mulai takut denganku?”
“Sapa lagi yang takut? Aku gak takut
kok, aku Cuma kaget aja. Gimana gak kaget, tiba-tiba kamu muncul dari jendelaku.”
Aku pun mendekat ke balkon jendela luar.
“Aku kan vampire, jadi bisa muncul
dimana aja yang aku mau.” Dia pun langsung memelukku dari belakang, pelukan
yang sangat hangat. Meski udara di balkon jendela itu sangat dingin, tapi
dengan pelukannay aku ngerasa sangat hangat. “Kinaya, jangan pernah takut sama
aku ya.”
“Siapa yang takut? Aku gak takut,
aku Cuma........”
“Meski aku ini seorang vampire yang
mungkin bisa aja minum darahmu sampai habis, tapi kamu harus percaya. Kalo aku
gak akan pernah ngelakuin hal itu sama kamu.”
“Iya, aku percaya itu.”
Dia pun
memelukku semakin erat dan mencium leherku. Tangannya mulai meraba tiap bagian
tubuhku, namun aku segera menghentikannya.
“Jangan, Michizuki.” Aku melepas
pelukannya. Aku berbalik dan berhadapan dengannya.
“Kenapa? Apa kamu udah gak mau lagi?”
“Bukannya gitu Aku sekarang capek
banget, aku cuma pengen istirahat.”
“Oh iya, aku baru inget. Seharian ini
kamu menghabiskan waktu dengannya kan? Sampai-sampai seharian ini kamu gak
menghubungi sama sekali.” Sindirnya.
“Maaf,Michizuki. Aku.....”
“Iya, aku ngerti kok. Kalo sama dia,
kamu bisa jalan-jalan di siang hari kemana pun kamu mau pergi. Tapi kalo sama
aku, kamu gak akan bisa seperti itu. Hanya malem aja aku baru bisa keluar.”
“Bukannya gitu, aku dan Ryota.....”
“Aku
gak mau denger nama dia lagi. Aku minta sama kamu, mulai sekarang jauhin dia. Jangan
pernah deket ama dia lagi, meski kalian 1 kelas.”
“Mana
mungkin aku ngejauhin dia, dia itu kan temanku. Aku gak bisa ngejauhin dia.”
“Kenapa
gak bisa? Apa karena kamu udah mulai suka sama dia?” bentaknya.
“Michizuki,
kenapa kamu ngomongnya seperti itu?”
“Aku
tahu isi pikiranmu, aku bisa baca pikiranmu.” Dia sejenak menahan emosinya. “Inget,
Kinaya. Kamu itu milikku, Cuma milikku. Jadi gak ada satu pun orang yang boleh
mendekati kamu selain aku.”
“Jangan
egois kayak gitu, dia itu temanku. Maaf, aku gak bisa nurutin kemauanmu.” Dia pun
sejenak terkejut mendengar jawabanku.
“Kinaya,
kenapa kamu keras kepala seperti ini. Kalo kamu memang sayang sama aku,
seharusnya kamu nurutin apa yang aku bilang.”
“Sayang
bukan berarti aku harus nurutin semua apa yang kamu mau. Aku juga punya
kehidupan sendiri bersama teman-temanku. Lagian itu kan Cuma teman, jadi apa
salah kalo aku punya temen.”
“Aku
gak melarangmu untuk berteman. Tapi jangan sama cowok, apa lagi Ryota. Aku gak
suka kamu terlalu dekat dengannya. Kalo kamu masih dekat sama dia, aku bener-bener
akan melenyapkannya.”
“Apa
maksudmu?”
“Kamu
pasti udah tahu apa yang akan aku lakukan dengan dia kan?”
“Michizuki,
jangan.....” belum selesai aku bicara dia pun langsung loncat dari balkon
jendela kamarku dan langsung berlari pergi. “Michizuki, tunggu. Aku belum
selesai bicara.” Dia pun langsung menghilang dari pandanganku.
Michizuki. Kenapa dia seprti itu? Kenapa dia seakan sangat
mengkhawatikan aku dengan Ryota, seharusnya kan gak usah sampek ngancem kayak
gitu. Baru kali ini aku ngeliat ekspresi cemburu yang sangat besar kayak gitu. Mudah-mudahan
aja dia gak ngelakuin hal yg macem-macem. Aku pun langsung menutup jendela dan
beristirahat.
Keesokan
harinya, seperti biasa aku berangkat ke sekolah. Sesampainya disekolah aku
menyempatkan diri melihat ke kelas Michizuki, namun dia gak ada. Aku pun
langsung pergi ke kelasku sendiri yg tepat berada disampingnya kelasnya. Aku juga
ngeliat ke bangku Ryota, namun dia juga gak ada. Kenapa Ryota belum datang ya? Biasanya
kan dia selalu datang paling pagi. Sejenak aku pergi tentang perkataan
Michizuki yang semalam. Aku bener-bener khawatir. Sampai bel tanda masuk
berbunyi pun dia belum juga datang. Aku semakin mengkhawatirkannya.
Sepulang
sekolah, aku pun langsung pergi kerumah Ryota. Aku pun melihat-lihat alamat
rumahnya sampai aku berhenti di sebuah rumah.
“Sepertinya
ini bener rumahnya. Coba aja deh aku masuk.”
Tokk...tokkk...tokk.. aku mengetuk
pintu rumah itu.
“Iya,
sebentar.” Terdengar suara seorang wanita dari dalam rumah itu.
Tak lama kemudian seorang wanita
paruh baya membuka pintu rumah itu. Sejenak wanita itu memandangiku.
“Cari
siapa ya?” tanyanya ramah.
“Maaf
sebelumnya. Apa bener ini rumah Ryota?”
“Iya,
bener. Kamu siapa ya?”
“Saya
teman sekelasnya,perkenalkan nama saya Kinaya.”
“Oh
kamu Kinaya ya. Kalo gitu mari silahkan masuk.”
Aku pun masuk dan duduk disebuah
sofa.
“Ryota
sering banget loh cerita tentang kamu, kamu emang bener-bener cewek yang cantik
seperti apa yang dia katakan. Ternyata kamu sekarang udah tumbuh jadi cewek
yang cantik.”
“Tumbuh
jadi cewek yang cantik. Maaf sebelumnya, apa Tante pernah mengenalku.”
“Ya
pastilah Tante kenal kamu, kamu dulu........”
“Ibu.”
Tiba-tiba Ryota datang dan memotong pembicaraan Ibu nya.
“Oh
Ryota, kamu terbangun ya.” Sapa Ibu nya.
“Jelas
aku terbangun, karena aku ngerasa ada seseorang yang sedang membicarakanku.” Candanya.
“Ibu. Aku dan Kinaya ngobrol dikamar aja ya?”
“Ya
udah kalo gitu, kalian ngobrolnya nyantai aja. Meski pun kamu mau nginap disini
juga gak apa-apa kok.” Senyum Ibu Ryota.
Aku pun langsung pergi kekamar Ryota.
“Maaf
ya. Ibu ku memang selalu gitu, kalo ada cewek yang datang kerumahku dia pasti banyak
bicara. Ibu ku pasti udah ngerepotin kamu ya.”
“Gak
kok. Ibu mu baik sama aku.”
“Syukurlah
kalo dia gak ngerepotin kamu.” Senyumnya.
“Oh
iya, tadi aku sempat aneh ama salah satu perkataan Ibu mu. Dia bilang ternyata
aku udah tumbuh jadi cewek yang cantik. Emangnya dulu Ibu mu pernha mengenalku?”
Ryota sejenak terkejut mendengar
pertanyaanku. Dia seakan bingung mau menjawab apa.
“I..it...itu...
Emmm,,,mungkin aja dia salah mengenali orang. Iya, dia mungkin salah mengenali
orang. Lagian mana mungkin Ibu ku bisa mengenalmu, kami kan baru aja pindah kesini
beberapa minggu yang lalu.”
“Iya
sih, tapi tetep aja aku ngerasa aneh ama perkataan tadi. Dari cara bicaranya denganku,
sepertinya dia pernah mengenalku sebelumnya.”
“Ng...Nggak
kok. Gak mungkin Ibu ku bisa mengenalmu.” Ucapnya gugup. “Oh iya, ada apa kamu
datang kesini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Oh
itu, aku Cuma khawatir aja ama kamu. Seharian ini kamu kan gak datang ke
sekolah. Padahal kamu kan tipe murid rajin yang gak pernah bolos.”
“Aku
Cuma gak enak badan aja, tapi dengan istirahat pasti besok udah sembuh lagi
kok.”
“Maaf
ya, gara-gara aku datang kamu jadi gak bisa istirahat.”
“Gak
apa-apa kok. Aku malah seneng bisa dijenguk ama kamu.” Senyumnya.
Tak lama mengobrol aku pun pamit
pulang. Sesampainya dirumah, aku langsung mandi dan merebahkan tubuhku di
ranjang. Namun tiba-tiba......
“Kenapa
kamu gak nurutin apa yang aku katakan?” suara itu mengagetkanku dan membuatku
terbangun.
“Mi....Michizuki.”
aku gugup.
“Kenapa
kamu kaget? Apa suaraku juga mulai membuatmu takut?” dia pun mendekat dan duduk
disampingku.
“Bu..bukan
gitu. Aku......”
“Apa
sekarang kamu ngerasa aku menakutkan? Apa sekarang kamu udah bener-bener takut
denganku?” dia semakin mendekat ke wajahku. Dia belai lembut pipiku. “Kenapa,
Kinaya? Kenapa kamu sekarang beda? Apa rasa sayangmu yang dulu kamu bilang
begitu besar itu sekarang udah gak ada lagi. Atau mungkin rasa itu udah pindah ke
Ryota.” Kata-katanya begitu lirih, seakan dia ingin menunjukkan kalo dia lagi
sakit hati.
“Michizuki.
Rasa sayangku ke kamu masih sama kayak dulu, gak ada yang berubah.”
“Benarkah
itu? Benarkah perasaanmu masih tetep sama seperti dulu.”
Aku hanya mengangguk. Dia pun semakin
mendekatkan bibirnya padaku, hendak menciumku. Namun aku menghindar, aku
memalingkan wajahku ke sisi yang berlawanan.
“Kenapa,
Kinaya? Kamu tadi bilang perasaanmu masih sama seperti dulu, tapi kenapa hanya
cium aja kamu udah nolak.”
“Maaf
Michizuki, aku hanya pengen istirahat. Lagian ini udah malem, besok kan kita
juga masih harus sekolah. Jadi aku pengen istirahat lebih awal.”
“Ya
udah kalo gitu, sekarang kamu istirahat. Aku akan tetep disini, jagain kamu
tidur.”
Aku pun membalasnya dengan senyuman. Dalam pelukan hangatnya
aku tertidur pulas.
Keesokan harinya saat aku terbangun,
Michizuki sudah gak ada. Aku pun bergegas mandi dan berangkat ke sekolah. Saat didepan
rumah, kulihat ada Michizuki yang menungguku.
“Michizuki.”
“Kinaya.”
Senyumnya. “Ayo kita berangkat.”
“Ayo.”
Balasku.
Michizuki pun menggandeng erat
tanganku. Tangan yang besar dan kuat, siapa yang bisa sangka cowok cakep yang
bersamaku sekarang ini adalah seorang vampire.
Sesampainya di sekolah, kami pun
berpisah karena ruang kelas kita berbeda.
“Kinaya.”
“Oh,
Ryota. Gimana keadaanmu? Udah baikan?”
“Udah
baikan kok, karena kemarin kamu udah jenguk aku jadi aku pasti akan cepat
sembuh.” Guraunya.
“Kamu
ini bisa aja. Oh iya ntar ada pelajaran olahraga loh, apa kamu kuat ngikutin
pelajaran olahraga? Kalo kamu gak kuat, nanti aku ijinin deh ama pak Guru.”
“Gak
usah, Kinaya. Aku baik-baik aja. Aku udah kuat ngikutin pelajaran olahraga. Jadi
kamu gak usah khawatir.”
Entah kenapa aku khawatir banget ama
dia. Aku pun hanya tersenyum. Saat pelajaran olahraga, kami pun pergi ke indoor
(lapangan tertutup) di dalam gedung sekolah.
“Anak-anak,
sekarang kita pelajaran olahraga basket ya. Jadi tiap orang punya kelompoknya
masing-masing kan. Nah sekarang kalian boleh bermain bersama teman kelompok
masing-masing.”
Aku pun berkumpul dengan teman
kelompokku. Saat aku mencoba memasukkan bola kedalam ring, saat aku meloncat tiba-tiba
aja aku terpeleset. Namun dengan sigap seseorang berada dibelakangku. Dan akhirnya
aku jatuh menindihi tubuhnya. Semua temen-temen menghampiri kami.
“Ryota.”
Aku segera terbangun dan melihat kondisinya. “Kamu gak apa-apa? Apa ada yang
terluka?”
“Aku
gak apa-apa kok, aku baik-baik aja” senyumnya.
Aku berusaha memeriksa kondisi
tubuhya yang masih tergeletak di lantai.
“Ryota.
Siku mu?” aku terkejut. Aku lihat disiku kanannya ada lecet yang lumayan parah.
Sepertinya tangannya terbentu keras di lantai lapangan.
“Oh
ini.” Dia melihat sikunya.”Kalo ini sih bukan masalah besar, Cuma lecet aja. Gak
begitu parah kok. Jadi tenang aja.”
Meskipun dia berkata seperti itu,
tapi tetep aja aku ngerasa sangat bersalah sama dia.
“Ryota.
Aku bantu kamu ke klinik sekolah ya?”
“Gak
usah. Ini luka biasa kok, dicuci pake air udah selesai.”
“Gak
boleh. luka itu harus tetap dirawat biar gak infeksi. Pokoknya kamu sekarang
aku antar ke klinik sekolah. Titik.”
Mendengar ucapanku itu, dia pun gak
membantah lagi. Dia mengikutiku jalan ke klinik sekolah. Sesampainya disana,
aku mengambil kotak P3K dan mulai merawat lukanya. Aku bener-bener kasian
banget sama dia.
“Maaf,
Ryota.” Ucapku sambil mengusap betadine ke luka itu. “Gara-gara aku, kamu jadi
terluka kayak gini. Maaf.”
Aku hanya bisa menunduk dan tak kuasa
meneteskan air mata. Dia pun langsung memegang daguku, dan mengangkat wajahku. Dengan
tersenyum dia mengusap air mataku.
“Jangan
pernah nangis lagi dihadapanku ya, karena aku gak mau ngeliat kamu sedih. Aku gak
mau ada air mata di wajahmu.” Senyumnya.
“Tapi.....”
“Stttt.”
Dia menutup mulutku dengan jari telujuknya. “Gak usah ngomong lagi. Meski harus
berkali-kali terluka, tapi yang penting itu demi kamu Kinaya. Yang terpenting
bagiku, kamu gak kenapa-kenapa.” Senyumnya.
Perlahan-lahan dia pun mendekatkan
wajahnya padaku. Semakin dekat hingga bibir kami bertemu, bibir yang sangat
hangat melumat bibirku dengan lembut. Entah kenapa aku gak menolak ciuman itu. Namun
tiba-tiba.... Brakkkk....pintu klinik terbuka dengan kasar.
“Apa
yang kamu lakukan?” seseorang datang dan membuka pintu klinik sekolah.
“Mi...Michizuki.”
Aku pun langsung berdiri, namun Ryota
masih tetap aja duduk tenang di kursinya. Michizuki pun mendekat ke Ryota, dia
langsung menarik kerah baju Ryota.
“Apa
yang kamu lakukan pada Kinaya ku?” bentaknya. Aku berusaha melerai mereka,
namun tak bisa.
“Kinaya
mu. Apa ada tertulis di wajahnya kalo dia itu milikmu.”
“Kau
ini, brengsek. Kau bener-bener pengen mati ya.” Michizuki pun tiba-tiba berubah
jadi sosok vampire yang mengerikan, punya taring, kuku panjang, dan mata yang
sangat menyala.
Kesekian kalinya aku melihat sosoknya
yang sangat menakutkan itu. Aku semakin berusaha melerai mereka.
“Michizuki.
Sudah, hentikan! Hentikan!” bentakku. Namun mereka berdua sama sekali tidak
bergerak sedikit pun, mereka saling beradu pandang. Dan anehnya lagi, Ryota
bahkan gak takut melihat sosok menyeramkan didepannya itu.
“Mati
demi Kinaya, aku berani. Karena dari awal dia emang gak seharusnya jadi
milikmu, tapi jadi milikku. Jadi lepaskan, Kinaya.”
Apa? Apa maksudnya itu? Apa maksud
perkataan Ryota itu?
“Brengsek,
kau. Kau memang bener-bener bosan hidup ya. Gara-gara kamu, sekarang sikap
Kinaya berubah. Dna gara-gara kamu juga perhatiannya sekarang berkurang padaku.”
“Baguslah
kalo seperti itu, itu berarti Kinaya bisa jadi milikku lagi.”
“Gak
akan pernah aku biarkan kamu memiliki Kinaya ku, karena dia milikku. Dan Cuma aku
yang bisa memilikinya.”
“Kamu
Cuma seorang vampire penghisap darah yang suatu saat pasti akan menghisap darah
manusia. Kamu itu sama aja kayak iblis berwajah manusia yang gak pantes buat
cewek manusia sebaik Kinaya. Kamu pantesnya tuh pacaran ama sebangsamu juga,
bangsa vampire.”
Mendengar kata-kata itu, terlihat
wajah Michizuki semakin marah. Emosinya sudah hampir tak tertahankan lagi. Dia pun
berusaha mencekik leher Ryota, namun Ryota berontak. Aku pun berusaha
melepaskan cekikannya.
“Lepaskan,
Michizuki. Lepasin dia, lepasin!” tapi tetap saja da tak menghiraukan
perkataanku. Karena rasa kesal, aku pun sontak menampar Michizuki. Dan akhirnya
cekikan itu pun terlepas, Ryota terjatuh dan langsung batuk-batuk. Aku pun
menghampirinya.
“Ryota,
kamu gak apa-apa?” tapi Ryota hanya batuk-batuk, dia seakan sulit untuk
bernafas.
“Michizuki,
apa yang kamu lakukan tadi? Apa kamu mau membunuh Ryota? Apa kamu sekarang udah
mau membunuh manusia, atau bahkan kamu akan membunuh dan menghisap darah
manusia itu sampai habis.” Kesalku.
Aku pun langsung beranjak pergi dan
berlari keluar sekolah, aku hendak pulang kerumah. Aku berlari
sekencang-kencangnya menuju rumah. Sepanjang perjalanan aku hanya bisa
menangis. Kenapa? Kenapa Michizuki bisa melakukan hal seperti itu? Kenapa didepanku
dia berani mau membunuh Ryota? Aku gak nyangka dia bisa melakukan hal seperti
itu. Aku bener-bener tak kuasa menahan tangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar