Selasa, 11 Desember 2012

My Lovers is a Vampire 3


Keesokan harinya saat kuterbangun, kulihat Michizuki udah gak ada disampingku. Aku pun bergegas berangkat ke sekolah. Saat akan siap-siap berangkat ke sekolah, tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarku.
            “Kinaya. Cepet turun, tuh udah ditunggu sama pacarmu.” Ucap Ibuku.
            “Pacar?”
            “Iya pacarmu. Dia tampan loh, manis lagi. kamu pintar cari pacar.”
Michizuki ada dirumahku.
            “Ya udah kalo gitu aku langsung berangkat sekolah dulu ya Bu?”
            “Hati-hati dijalan ya Nak.”
Aku pun bergegas turun dan menemuinya. Kulihat dia udah menungguku didepan rumah, aku pun langsung menghampiri dan memeluknya.
            “Selamat pagi, Michizuki.” Senyumku. Aku pun makin erat memeluknya.
            “Selamat pagi juga, Kinaya.” Dia pun mencium keningku. Namun tiba-tiba.
            “Hei, hei kalian berdua. Bermesraannya nanti aja dilanjutin, ini udah siang. Nanti kalian bisa telat ke sekolah lagi.” gurau Ibu.
            “Baik Bu, kami berangkat dulu ya. Dahh Ibu.”
Kami pun berangkat sekolah bersama.
            “Gimana? Apa masih sakit?”
            “Udah gak lagi kok.” Senyumku.
            “Syukurlah kalo gitu.”
Dia pun ikut tersenyum. Tiap pagi aku selalu melihat senyuman itu, senyuman dari pacarku yang paling manis.
Sesampainya disekolah, kulihat ada sesuatu yang aneh hari itu.
            “Kenapa ada banyak bunga di halaman?”
            “Mmm, aku juga gak tahu. Mungkin aja sekarang musim gugur.” Senyumnya.
            “Gak kok, ini belum masuk musim gugur. Tapi meski gitu, bunganya indah banget ya.”
            “Apa kamu suka bunga-bunga ini?”
            “Iya, aku suka banget sama bunga.”
            “Sini deh aku kasih tahu sesuatu.” Michizuki pun menarik tanganku, entah kemana dia akan membawaku. Ternyata dia membawaku ke atap sekolah.
            “Kenapa kita kesini?”
            “Coba deh liat sini.” Dia pun mengajakku ke pinggiran atap. “Coba kamu liat kebawah.”
Saat kulihat, alangkah terkejutnya aku. Ternyata bunga-bunga yang tadi aku lihat ditaman, membentuk sebuah kata. AKU SUKA KINAYA. MAUKAH KAMU JADI PENDAMPING HIDUPKU?
            “Michizuki.” Kuterkejut. “Kamu yang membuat semua itu?” dia hanya mengangguk. Sangking senengnya aku pun langsung memeluknya. “Terima kasih ya Michizuki.”
            “Terus jawabannya apa dong?”
            “Jawaban?”
            “Kinayaku sayang, mau kah kamu jadi pendamping hidupku untuk selamanya?”
Kata-kata itu bener-bener membuatku jadi cewek yang paling bahagia sedunia.
            “I..iya, aku mau.” Jawabku malu. Dia pun langsung memasangkan sebuah cincin dijari manisku. “Apa ini?”
            “Ini sebagai tanda kalo kamu udah jadi milikku.” Senyumnya.
Saat itu kami berdua sangat bahagia, sangking bahagianya sampek gak bisa di ungkapin kata-kata. Kami pun kembali ke kelas masing-masing. Aku mendapat sambutan yang sangat baik dari teman-teman yang lain. Hari itu bener-bener membuatku seakan terbang.
Saat sepulang sekolah. Aku pun hendak pergi menemui Michizuki, namun tiba-tiba dihadang ketua kelas.
            “Ke..ketua kelas. Ada apa?”
            “Dari baunya, sepertinya kamu udah gak mempunyai darah perawan lagi ya? Atau jangan-jangan kalian udah berhubungan ya?” tanyanya dingin.
            “Itu bukan urusanmu.” Aku pun hendak melangkahkan kakiku, namun ketua kelas meraih tanganku.
            “Kamu mau kemana? Aku belum selesai ngomong.”
            “Gak ada yang perlu di omongin lagi. Permisi.”
            “Ehh tunggu dulu.” dia kembali menarik tanganku. “Darah perawanmu udah kamu berikan pada Michizuki kan? Hati-hati aja ya Kinaya, suatu saat dia pasti menginginkan darahmu lagi. Atau bahkan lebih.”
            “Maksud ketua kelas apa?”
            “Darah perawanmu telah bercampur dalam dirinya. Kemarin aku udah bilang kan, siapa aja yang bisa mendapatkan darah perawan murni, dia akan menjadi yang paling berkuasa. Tapi kalo mereka malah ketahuan menjalin hubungan dan bahkan sampai menikah, bisa-bisa Michizuki kesayanganmu itu akan dihukum mati.”
“Hu..hukum mati?”
“Iya, bener. Hukum mati. Jika kamu masih ada didekatnya, kamu bisa jadi membahayakan baginya. Karena kisah cinta antara manusia dan vampire sangat ditentang dalam peraturan kerajaan vampire.Dan bukan hanya itu aja, manusia yang menjalin hubungan dengan vampire juga akan ikut dibunuh.”
Saat ketua kelas sedang menjelaskan padaku, tiba-tiba aja seseorang datang.
            “Lepaskan tangannya.” Mi..michizuki. “Aku bilang lepaskan tangannya.” Bentak Michizuki.
            “Meski kamu udah minum darahnya, namun itu bukan berarti aku takut padamu. Kamu belum bisa jadi yang paling berkuasa, jadi berhati-hatilah.” Ucapnya mengancam. “Oh iya aku lupa ngingatin, jagalah pacarmu baik-baik ya. Karena mungkin dalam waktu cepat atau lambat dia akan jadi beban untukmu.”
Ketua kelas pun langsung pergi. Perkataanya menimbulkan beribu tanya dalam pikiranku.
            “Hei, Kinaya.”
            “Ehh. Mi..Michizuki.”
            “Kamu kenapa melamun? Kamu gak apa-apa kan?”
            “Ng..nggak apa-apa.”
            “Apa tadi ada sesuatu yang dia bicarakan sama kamu?”
            “Ohh, ng..nggak ada kok.”
            “Kenapa kamu jawabnya gugup kayak gitu? Pasti tadi dia bilang sesuatu ya?”
            “Emm, nggak kok. Cuma sesuatu yang gak penting aja.”
            “Ya udah kalo emang kayak gitu. Ayukk kita pulang.”
            “I..iya.”
Kami pun pulang bersama. Sepanjang perjalanan aku memikirkan perkataan ketua kelas tadi. Apa bener aku hanya membahayakannya? Apa bener dia gak bisa jadi yang berkuasa karena aku masih hidup? Benerkah dia akan dihukum mati kalo ketahuan menjalin hubungan dengan manusia? Semua pertanyaan itu menumpuk di otakku.
            “Kinaya.”
            “Ehh Michizuki.”
            “Kamu kenapa sih? Kok dari tadi aku perhatiin kamu ngelamun terus.”
            “Oh gak apa-apa kok.”
Namun kulihat sepertinya Michizuki gak percaya akan ucapanku itu. Sesampainya dirumah aku pun langsung masuk dan merebahkan diriku diranjang. Kulihat cincin di jari manisku. Michizuki, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus sedikit menjauh darimu? Saat itu pikiranku bener-bener sangat penuh. Aku pun mencoba menenangkan diri.

Keesokan harinya, kulihat waktu masih menunjukkan jam 06.00 namun aku udah bersiap-siap berangkat kesekolah.
            “Kinaya, kamu gak bareng sama pacarmu lagi?”
            “Nggak Bu, aku pengen berangkat sendiri aja.”
            “Ini kan masih sangat pagi.”
            “Gak apa-apa kok Bu, aku juga mau sekalian menghirup udara pagi.” Ucapku lesu.
Aku pun terus berjalan, entah kemana kaki ini akan membawaku. Sepertinya untuk hari ini aku masih belum ingin bertemu dengan Michizuki. Udah lama berjalan, aku pun tiba disebah danau.
            “Wahh danau ini indah banget.” aku pun mendekati danau itu. “Airnya juga jernih, sampai-sampai aku bisa bercermin.”
Selang beberapa lama kubermain didanau, kulihat waktu menunjukkan jam 08.00, matahari juga udah terbit. Aku pun bergegas menuju kesekolah, namun ternyata pelajaran udah dimulai.
            “Hei, Kinaya. Kok tumben kamu telat? Biasanya selalu datang paling pagi.”
            “Aku tadi telat bangun tidur.” Ucapku berbohong.
            “Oo gitu. Oh iya tadi Michizuki mencarimu loh, dia kebingungan banget mencarimu. Dia sepertinya sayang banget deh sama kamu.” Jelasnya. Namun aku hanya terdiam.”Hei, Kinaya. Kamu kenapa sih? Kok dari tadi gak semangat banget?”
            “Huh? Nggak kok, aku gak apa-apa.”
            “Hemm, aku tahu nih. Kamu lagi tengkar ya sama Michizuki? Aku udah tahu dari raut wajahmu, kamu gak bisa bohong.”
            “Aku gak apa-apa kok, mungkin aku Cuma gak enak badan aja.”
            “Oo gitu, ya udahlah kalo emang kayak gitu.”
Aku pun mengikuti pelajaran seperti biasa. Saat jam istirahat siang, aku pun bergegas berlari menjauhi kelas.
            “Hei, Kinaya. Kamu mau kemana sih? Kok buru-buru banget.” tanya temanku. Namun aku tak memperdulikannya.
Aku tetap berlari sekencang-kencangnya. Aku mencari tempat yang ada sinar mataharinya. Oh iya aku mau keatap sekolah aja deh. Setibanya disana.
Mungkin tempat ini yang paling aman. Sinar matahari bebas disini, jadi bangsa vampire mana pun gak akan bisa datang ketempat yang dipenuhi cahaya matahari seperti ini.Tapi kenapa aku malah menjauhi Michizuki seperti ini sih? Dia kan gak punya salah apa-apa, tapi ya udah lah. Mungkin ini yang terbaik untuk sedikit menghindarinya.
Saat sepulang sekolah.
            “Aku bareng sama kamu ya.” Ajakku pada teman sekelasku.
            “Kenapa kamu tiba-tiba mau pulang bersamaku? Bukannya biasanya kamu pulang bareng Michizuki.”
            “Nggak apa-apa kok, aku Cuma pengen pulang bareng kamu aja. Ayo.”
            “Ya udah lah. Ayo.”
Kami pun pulang bersama. Saat sampai dirumah, aku pun langsung menyalakan lampu ultraviolet disetiap sudut rumahku.
            “Hei, Kinaya. Kenapa nyalain lampu ultraviolet  segala sih?” tanya Ibu.
            “Gak apa-apa kok Bu. Kinaya takut gelap, kalo pake ini kan gak akan gelap lagi.”
            “Pake lampu biasa kan juga bisa? Lagian lampu ultraviolet itu kan Cuma dipasang saat mati lampu aja.”
            “Gak apa-apa kok Bu, Kinaya lebih seneng lampu seperti ini.”
            “Oh iya tadi pagi Michizuki menunggumu sampek berkeringat loh. Kasian dia, mungkin dia capek menunggumu lama, wajahnya juga sedikit pucat. Ya udah lah kamu cepet tidur ya.”
Michizuki ya. Aku gak boleh mundur, ini adalah keputusan yang terbaik untuknya. Aku harus tetap maju. Aku pun lekas tidur dengan diterangi lampu ultraviolet disekelilingku. Mungkin ini agak berlebihan, tapi gak apa-apa deh.














 

Keesokan harinya aku pun melakukan hal yang sama. Esoknya lagi pun seperti itu. Hingga saat sepulang sekolah.
            “Akhir-akhir ini kamu kok aneh sih?” tanya temenku.
            “Aneh kenapa?”
            “Ya aneh aja. Kamu sering datang siang, kalo jam istirahat selalu menghilang entah kemana, dan tiap pulang sekolah selalu buru-buru kayak gini. Emang ada apa sih, Kinaya.”
            “Nggak ada apa-apa kok.”
            “Kamu ada masalah ya sama Michizuki?”
            “Gak ada kok.”
            “Kalo emang gak ada, gak mungkin dalam beberapa hari ini kamu seakan menghidarinya terus.”
            “Aku gak menghindarinya kok.” Jawabku berbohong. “Oh iya, rumahku udah deket tuh. Aku pulang dulu ya.” Aku pun buru-buru masuk kerumah. “Ibu, aku pulang.” Namun tak ada yang menjawab.
Loh kok sepi sih, Ibu kemana ya? Gak biasanya Ibu pergi sampek menjelang malam gini. Aku pun langsung menyalakan lampu ultraviolet, tapi…
            “Loh kok lampunya gak bisa nyala sih. Apa tadi siang gak di cas ya sama Ibu. Coba deh aku cek dulu.”
Saat akan ngecek lampu itu, tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang.
            “Aku kangen banget sama kamu.”
Su..suara itu. Mi..Michizuki. dulu saat mendengar suaranya aku udah langsung seneng, tapi kenapa sekarang perasaanku jadi sedikit takut. Seketika aku pun ingin melepaskan pelukannya, namun gak bisa. Pelukannya sangat erat mengikatku.
            “Kamu mau pergi kemana, Kinayaku sayang? Aku yakin kamu juga kangen aku kan.” Ucap lembut Michizuki.
            “A..aku Cuma ingin ke kamar.”
            “Oo ke kamar ya? Biar aku antar ya.”
            “Ng..nggak usah. Aku bisa sendiri.”
            “Kinayaku sayang, cepat atau lambat kita akan nikah. Jadi apa gak boleh aku juga ikut menemanimu di kamar. Lagian kita kan udah pernah ngelakuin, jadi kenapa kamu harus malu lagi.”
Saat dia sedang berbicara, aku pun menyempatkan diri kabur dari pelukannya. Aku bergegas masuk ke dalam kamar, namun dia masih bisa mengejarku. Dia menahan pintu kamarku.
            “Kinaya, kenapa kamu jadi seperti ini? Kenapa kamu sekarang menghindariku?”
            “Jangan dekati aku, Michizuki. Jauhi aku.”
            “Kenapa aku harus menjauhi cewek yang kusukai. Kenapa kamu membenciku seperti ini? Apa salahku, Kinaya?” dia terus mendekatiku.
            “Aku gak membenci kamu, jadi aku mohon jangan mendekat.”
            “Kalo emang kamu gak benci aku, kenapa kamu melarangku mendekatimu?” dia pun semakin mendekat dan akhirnya menjatuhkanku diranjang. Tubuhnya tepat menindih tubuhku.
            “Michizuki, jangan. Jangan dekati aku, aku mohon jauhi aku.”
            “Kinaya, kamu ngomong apa? Apa kamu gak tahu gimana diriku beberapa hari ini tanpamu, batreku bener-bener habis. Aku udah gak punya tenaga lagi, Kinaya. Sikapmu yang menghindariku seperti ini, membuatku seperti gak ada nyawa. Tiap hari kamu selalu datang agak siang, saat jam istirahat kamu sengaja mencari tempat yang terkena sinar matahari langsung, dan saat malam kamu menyalakan sinar ultraviolet. Kamu sengaja melakukan itu semua kan?” jelasnya.
Ternyata dia udah tahu.
            “A…Aku.”
            “Kamu tahu semua kelemahanku, makanya itu kamu menghindariku dengan semua kelemahanku itu kan?” tanyanya sedih. “Kinaya, aku sayang kamu. Sayang banget. aku ingin kita seperti dulu lagi, bersama-sama lagi.”
            “Maaf. Michizuki. Kita gak bisa seperti dulu lagi.”
            “Apa maksudmu bilang  kayak gitu?” bentaknya. “Denger ya Kinaya, aku gak akan membiarkanmu menghindariku lagi. Aku gak akan membiarkanmu lari lagi, aku gak akan pernah membiarkan itu.”
Kulihat wajahnya sedih. Apa yang seharusnya kulakukan, apa semua yang kulakukan ini bener.
            “Michizuki, kumohon jangan dekati aku lagi. Jauhi aku.”
Namun dia gak memperdulikanku, perlahan tangannya bergerilya di dalam tubuhku.
            “Mi..Michizuki. Jangan seperti ini, kumohon jangan.” Aku terus berontak, tubuhku seakan tak bisa menghindari tubuhnya yang begitu kuat. “Kumohon, jangan.” Namun dia tetep membuka satu persatu bajuku. Aku berusaha berontak namun tak bisa. Akhirnya dia pun mendapatkan lagi tubuhku. Berkali-kali dia melakukannya padaku, tak kuasa tubuhku untuk melawan kekuatannya yang besar. Saat itu kurasakan permainannnya begitu keras. Hingga aku pun terlelap dalam pelukannya. 
Dinginnya embun, membuatku terbangun dalam kelelahan. Perlahan ku membuka mata, saat hendak terbangun ku rasakan ada lilitan tangan di pinggangku. Saat berbali kulihat tangan Michizuki memelukku erat. Sejenak kupandangi wajahnya, kulihat sinar matahari menerpa wajahnya. Wajahnya kelihatan gelisah dan berkeringat. Kasihan, Michizuki. Aku pun bangun  dan langsung mengenakan pakaian. Kututup tirai jendela yang ada disamping ranjangku. Dengan gini, dia gak akan berkeringat lagi. Kutersenyum, aku pun menyelimuti tubuhnya dan hendak turun.
            “Ibu, ibu.” Panggilku. “Kok aneh ya? Sampek pagi gini ibu kok belum pulang ya. Biasanya kalo mau nginap selalu ngabarin aku dulu.” pikirku. Aku pun terus mencari disetiap ruangan, namun ibu teteap gak ada. Aku hubungi hapenya tapi  gak nyambung. “Ibu kemana sih? Kok aku hubungi gak bisa nyambung.”
Saat aku berusaha menghubungi Ibu, tiba-tiba Michizuki memelukku dari belakang.
            “Hai sayang.”
            “Mi..michizuki.”
            “Lagi telpon ibu ya?” senyumnya. “Dalam beberapa hari ini ibu gak akan pulang, dia lagi jenguk saudara yang abis melahirkan.”
            “Tapi ibu kok gak ngasih tahu aku.”
            “Kamu kan kemarin belum pulang dari sekolah. Kebetulan kemarin aku datang, jadinya ibu sekalian titip pesan deh buat kamu.” Jelasnya. “Oh iya ibu juga menyuruhku untuk menjagamu loh.” Senyumnya nakal. Senyumannya yang nakal membuatku sedikit takut.
            “A..Anu. A..aku, aku mau masak dulu.”aku berusaha beranjak, namun Michizuki menghalangiku.
            “Aku gak akan biarin kamu pergi kemana-mana.”
            “Tapi aku hanya mau masak aja.”
            “Gak boleh, gak aku ijinin kamu pergi lagi. Tadi pagi udah ninggalin aku sendirian diranjang, sekarang gak akan aku biarin lagi.”
            “Ta…tapi, aku…”
Dia pun langsung menggendongku.
            “Hei, Michizuki. Kamu mau apa? Turunkan aku.” Namun dia gak jawab, dia membawaku keruang tamu. Dia pun langsung merebahkan tubuhku di atas sofa. “Kau mau apa lagi?” tanyaku heran. Aku pun berniat melarikan diri, namun tanganya dengan sigap menarikku dan merebahkanku lagi di sofa.
“Permainanku semalam membuatmu kesakitan ya? Maaf ya mungkin karena aku udah memendam rasa kangen sama kamu dalam beberapa hari ini, jadi saat melihatmu semalam tubuhku jadi semakin bersemangat. Tapi untuk kali ini aku gak akan main keras lagi kok, aku akan lembut.”
“Jangan, Michizuki. Jangan. Lepaskan aku.”
Dia hanya menjawabnya dengan tersenyum. Tubuhnya semakin menggeliat di atas tubuhku. Aku berusaha berontak, namun kekuatanku tak bisa mengalahkannya. Tubuhnya semakin liar menjamah tubuhku. Berulang kali dia melakukannya, setiap gerakan tubuhnya seakan mengisyaratkan bahwa dia sangat mencintaiku. Dia pun tertidur dalam pelukanku. Ternyata dia cukup liar juga ya. Kekuatannya juga kuat, tubuhku sampek gak bisa melawannya. Kubelai lembut rambutnya. Apa yang kita lakukan ini baik? Apa ini gak akan membuat nyawanya jadi berbahaya?
Beberapa saat kemudian aku pun langsung beranjak dan menuju kedapur. Aku mau masak apa ya? Kira-kira Michizuki suka makanan apa ya? Coba aku masak sesuatu dulu ahh, mudah-mudahan dia suka. Aku pun mulai memasak beberapa makanan. Saat masakan hampir matang, tiba-tiba Michizuki memelukku lagi dari belakang.
            “Hemm, baunya enak banget. Lagi masak apa sih?”
            “Oo, ini. Aku lagi masak sup.”
            “Hemm kelihatannya enak banget nih. Aku jadi laper nih.” senyumnmya.
            “Tunggu dulu ya, ntar lagi masakannya udah matang kok.”
Dia pun menunggu di meja makan dengan sabar. Beberapa saat kemudian masakan yang ditunggu udah matang.
            “Taraa!!! Masakannya udah matang.” Senyumku sambil membawa makanan ke meja makan.
            “Hemm, baunya enak banget.” dia pun langsung mengambil sendok dan mencicipi sup itu.
            “Ehh, tunggu dulu, itu masih panas.” Namun dia udah terlanjur memasukkan makanan itu kedalam mulutnya.
            “Emm, makanan ini enak banget.” kulihat dia menyantap makanannya dengan lahap“Ternyata makanan manusia itu enak juga ya? Baru kali ini aku makan makanan seenak ini.”
Oh iya Michizuki kan gak pernah makan makanan manusia, wajar aja dia bicara gitu.
            “Makannya pelan-pelan aja, gak akanada yang ngambil makanannya. Ini semua aku masak emang untukmu.” Senyumku.
            “Benarkah ini semua untukku?” tanyanya heran, aku hanya mengangguk. “Terima kasih ya, Kinayaku sayang.”
Dia pun langsung menyantap semua makanan yang ada di atas meja, melihatnya seperti itu membuatku seneng meski pun ada sedikit kekhawatiran. Apa bener didekatku hanya bisa membuatnya terluka?Apa bener vampire yang lain akan mengincar dan membunuhku? Semua kekhawatiran itu membuatku sedikit takut untuk selalu berada didekatnya.
Beberapa saat kemudian.
            “Wahh perutku kenyang banget. Makanannya bener-bener enak.”
Namun saat dia berbicara aku malah melamun.
“Kinaya.” Panggilannya menyadarkan lamunanku.
“Oo, ehh. I..iya, Michizuki. Kenapa? Kamu tadi bilang apa?”
“Kamu kenapa? Lagi mikrin sesuatu ya?”
“Ng..Nggak kok. Aku gak mikirin apa-apa.” Jawabku gugup.
“Jangan bo’ong, aku perhatiin dari tadi kamu ngelamun terus. Aku ajak bicara kamu hanya diam aja.”
“Oo, itu. Aku..aku Cuma kecapek’an aja.” Aku berusaha berbo’ong.
“Kecapek’an gara-gara perbuatanku ya?” senyumnya.
“Perbuatan?” tanyaku bingung.
“Iya, perbuatanku yang semalam dan yang tadi pagi. Pasti kamu kewalahan ya, tenagamu juga pasti udah habis. Apa karena itu kamu kecapek’an?”
“Oo, ng..nggak kok. Bukan itu.”
“Kalo emang bukan itu, bisa kan kita sekarang ngelakuin lagi?” candanya.
“A..ak..aku mau cuci piring dulu.” jawabku gugup.
“Aku bantu ya?”
“Gak usah, Michizuki. Biar aku aja yang cuci piring, kamu istirahat aja.”
“Bukannya yang seharusnya istirahat itu kamu, Kinaya. Kamu kan kecapek’an?”
“Aku gak apa-apa kok, Cuma cuci piring aja. Gak terlalu berat buatku.”
“Ya udah kalo kayak gitu.” Dia pun langsung pergi kekamar atas.
akumembereskan semua piring yang ada dimeja makan. Huftt, apa-apan sich Michizuki itu. Kenapa minta lagi? apa yang semalam dan tadi pagi itu masih kurang? Apa semua vampire kayak gitu ya?
Selesai mencuci piring aku pun pergi kekamar, kulihat Michizuki sedang tidur terlelap di atas ranjang. Kudekati perlahan, kupandangi wajahnya yang lembut. Cowok setampan dia, semua orang pun gak akan sangka kalo dia seorang vampire. Aku pun menyelimuti tubuhnya. Tubuh ini yang selalu menghabiskan tenagaku, tubuh ini juga yang selalu menjagaku.
Aku mau mandi dulu ahh, biar gak bau kalo dideket Michizuki. Aku pun langsung beranjak pergi kekamar mandi, kubahasi sekujur tubuhku dengan air dan sabun. Waah segarnya!!! Saat sedang membasahi tubuhku, kurasakan sebuah tangan menggelayut di perut dan dadaku. Sontak kuterkejut dan berbalik.
            “Mi..Michizuki. Kenapa kamu disini?”
            “Aku juga pengen mandi.”
            “Kalo kamu mau mandi  tunggu aku selesai mandi dulu.”
            “Gak ahh, aku maunya mandi bareng sama Kinaya aja.” Senyumnya.
Tangannya mulai menjamah tubuhku yang saat itu telanjang.
            “Michizuki, jangan. Kita udah ngelakuinnya berulang kali.”
            “Tapi meski udah berulang kali, aku masih tetep pengen.”Tangannya pun mulai menjamah ke bagian tubuhku yang lain.
            “Michizuki, hentikan.” Aku pun berontak. Secepat kilat kukenakan handuk dan berlari keluar kamar mandi. Dan seketika Michizuki sudah ada dihadapanku.
            “Kinayaku sayang, kamu mau kemana?”
Tiba-tiba dia pun langsung menggendongku dan membawaku ke atas ranjang. Tubuhku tak berdaya dibuatnya, tubuhnya semakin liar beradu di atas tubuhku. Berulang kali dia melakukannya. Hingga aku pun terlelap dalam pelukannya yang manis.
Saat beranjak sore, kudengar ada suara yang memanggilku.
            “Kinaya, Kinaya.”
Sontak kuterbangun dalam kelelahanku. Kulihat disebelahku, tak ada lagi Michizuki. Ranjangku pun juga berantakan, kulihat tubuhku juga telanjang. Kurasakan tubuhku sangat lelah.
            “Kinaya.” Suara itu kembali terdengar.
Itu kan suara Ibu, oh ternyata Ibu udah pulang. Aku bergegas mengenakan pakaian dan turun.
            “Iya Bu.”
            “Kamu kemana aja, Ibu panggil-panggil kok gak jawab.”
            “Tadi Kinaya lagi istirahat dikamar Bu, jadi gak terlalu denger Ibu panggil.”
            “Oo gitu. Oh iya Kinaya, kemarin Ibu buru-buru kerumah saudara jadi gak sempat ngabarin kamu. Tapi Ibu udah titip pesan kok sama Michziuki, apa dia udah sampek’in sama kamu.”
“Udah kok Bu, Michizuki udah sampek’in sama aku. Oh iya Ibu sekarang istirahat aja, ibu pasti masih capek.”
“Ya udah kalo gitu Ibu istirahat dulu ya.” Ibu pun langsung pergi kekamar.
Aku pun juga istirahat dikamar dan membereskan ranjangku. Hufftt, ranjangku jadi berantakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar