Keesokan
harinya saat kuterbangun, kulihat Michizuki udah gak ada disampingku. Aku pun
bergegas berangkat ke sekolah. Saat akan siap-siap berangkat ke sekolah,
tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarku.
“Kinaya. Cepet turun, tuh udah
ditunggu sama pacarmu.” Ucap Ibuku.
“Pacar?”
“Iya pacarmu. Dia tampan loh, manis
lagi. kamu pintar cari pacar.”
Michizuki
ada dirumahku.
“Ya udah kalo gitu aku langsung
berangkat sekolah dulu ya Bu?”
“Hati-hati dijalan ya Nak.”
Aku
pun bergegas turun dan menemuinya. Kulihat dia udah menungguku didepan rumah,
aku pun langsung menghampiri dan memeluknya.
“Selamat pagi, Michizuki.” Senyumku.
Aku pun makin erat memeluknya.
“Selamat pagi juga, Kinaya.” Dia pun
mencium keningku. Namun tiba-tiba.
“Hei, hei kalian berdua.
Bermesraannya nanti aja dilanjutin, ini udah siang. Nanti kalian bisa telat ke
sekolah lagi.” gurau Ibu.
“Baik Bu, kami berangkat dulu ya.
Dahh Ibu.”
Kami
pun berangkat sekolah bersama.
“Gimana? Apa masih sakit?”
“Udah gak lagi kok.” Senyumku.
“Syukurlah kalo gitu.”
Dia
pun ikut tersenyum. Tiap pagi aku selalu melihat senyuman itu, senyuman dari
pacarku yang paling manis.
Sesampainya
disekolah, kulihat ada sesuatu yang aneh hari itu.
“Kenapa ada banyak bunga di
halaman?”
“Mmm, aku juga gak tahu. Mungkin aja
sekarang musim gugur.” Senyumnya.
“Gak kok, ini belum masuk musim
gugur. Tapi meski gitu, bunganya indah banget ya.”
“Apa kamu suka bunga-bunga ini?”
“Iya, aku suka banget sama bunga.”
“Sini deh aku kasih tahu sesuatu.”
Michizuki pun menarik tanganku, entah kemana dia akan membawaku. Ternyata dia
membawaku ke atap sekolah.
“Kenapa kita kesini?”
“Coba deh liat sini.” Dia pun
mengajakku ke pinggiran atap. “Coba kamu liat kebawah.”
Saat
kulihat, alangkah terkejutnya aku. Ternyata bunga-bunga yang tadi aku lihat
ditaman, membentuk sebuah kata. AKU SUKA KINAYA. MAUKAH KAMU JADI PENDAMPING
HIDUPKU?
“Michizuki.” Kuterkejut. “Kamu yang
membuat semua itu?” dia hanya mengangguk. Sangking senengnya aku pun langsung
memeluknya. “Terima kasih ya Michizuki.”
“Terus jawabannya apa dong?”
“Jawaban?”
“Kinayaku sayang, mau kah kamu jadi
pendamping hidupku untuk selamanya?”
Kata-kata
itu bener-bener membuatku jadi cewek yang paling bahagia sedunia.
“I..iya, aku mau.” Jawabku malu. Dia
pun langsung memasangkan sebuah cincin dijari manisku. “Apa ini?”
“Ini sebagai tanda kalo kamu udah
jadi milikku.” Senyumnya.
Saat
itu kami berdua sangat bahagia, sangking bahagianya sampek gak bisa di ungkapin
kata-kata. Kami pun kembali ke kelas masing-masing. Aku mendapat sambutan yang
sangat baik dari teman-teman yang lain. Hari itu bener-bener membuatku seakan
terbang.
Saat
sepulang sekolah. Aku pun hendak pergi menemui Michizuki, namun tiba-tiba
dihadang ketua kelas.
“Ke..ketua kelas. Ada apa?”
“Dari baunya, sepertinya kamu udah
gak mempunyai darah perawan lagi ya? Atau jangan-jangan kalian udah berhubungan
ya?” tanyanya dingin.
“Itu bukan urusanmu.” Aku pun hendak
melangkahkan kakiku, namun ketua kelas meraih tanganku.
“Kamu mau kemana? Aku belum selesai
ngomong.”
“Gak ada yang perlu di omongin lagi.
Permisi.”
“Ehh tunggu dulu.” dia kembali
menarik tanganku. “Darah perawanmu udah kamu berikan pada Michizuki kan?
Hati-hati aja ya Kinaya, suatu saat dia pasti menginginkan darahmu lagi. Atau
bahkan lebih.”
“Maksud ketua kelas apa?”
“Darah perawanmu telah bercampur
dalam dirinya. Kemarin aku udah bilang kan, siapa aja yang bisa mendapatkan
darah perawan murni, dia akan menjadi yang paling berkuasa. Tapi kalo mereka
malah ketahuan menjalin hubungan dan bahkan sampai menikah, bisa-bisa Michizuki
kesayanganmu itu akan dihukum mati.”
“Hu..hukum mati?”
“Iya, bener. Hukum mati. Jika kamu masih
ada didekatnya, kamu bisa jadi membahayakan baginya. Karena kisah cinta antara
manusia dan vampire sangat ditentang dalam peraturan kerajaan vampire.Dan bukan
hanya itu aja, manusia yang menjalin hubungan dengan vampire juga akan ikut
dibunuh.”
Saat
ketua kelas sedang menjelaskan padaku, tiba-tiba aja seseorang datang.
“Lepaskan tangannya.” Mi..michizuki.
“Aku bilang lepaskan tangannya.” Bentak Michizuki.
“Meski kamu udah minum darahnya,
namun itu bukan berarti aku takut padamu. Kamu belum bisa jadi yang paling
berkuasa, jadi berhati-hatilah.” Ucapnya mengancam. “Oh iya aku lupa ngingatin,
jagalah pacarmu baik-baik ya. Karena mungkin dalam waktu cepat atau lambat dia
akan jadi beban untukmu.”
Ketua
kelas pun langsung pergi. Perkataanya menimbulkan beribu tanya dalam pikiranku.
“Hei, Kinaya.”
“Ehh. Mi..Michizuki.”
“Kamu kenapa melamun? Kamu gak
apa-apa kan?”
“Ng..nggak apa-apa.”
“Apa tadi ada sesuatu yang dia
bicarakan sama kamu?”
“Ohh, ng..nggak ada kok.”
“Kenapa kamu jawabnya gugup kayak
gitu? Pasti tadi dia bilang sesuatu ya?”
“Emm, nggak kok. Cuma sesuatu yang
gak penting aja.”
“Ya udah kalo emang kayak gitu.
Ayukk kita pulang.”
“I..iya.”
Kami
pun pulang bersama. Sepanjang perjalanan aku memikirkan perkataan ketua kelas
tadi. Apa bener aku hanya membahayakannya? Apa bener dia gak bisa jadi yang
berkuasa karena aku masih hidup? Benerkah dia akan dihukum mati kalo ketahuan
menjalin hubungan dengan manusia? Semua pertanyaan itu menumpuk di otakku.
“Kinaya.”
“Ehh Michizuki.”
“Kamu kenapa sih? Kok dari tadi aku
perhatiin kamu ngelamun terus.”
“Oh gak apa-apa kok.”
Namun kulihat sepertinya Michizuki
gak percaya akan ucapanku itu. Sesampainya dirumah aku pun langsung masuk dan
merebahkan diriku diranjang. Kulihat cincin di jari manisku. Michizuki, apa
yang harus aku lakukan? Apa aku harus sedikit menjauh darimu? Saat itu
pikiranku bener-bener sangat penuh. Aku pun mencoba menenangkan diri.
Keesokan
harinya, kulihat waktu masih menunjukkan jam 06.00 namun aku udah bersiap-siap
berangkat kesekolah.
“Kinaya, kamu gak bareng sama
pacarmu lagi?”
“Nggak Bu, aku pengen berangkat
sendiri aja.”
“Ini kan masih sangat pagi.”
“Gak apa-apa kok Bu, aku juga mau
sekalian menghirup udara pagi.” Ucapku lesu.
Aku
pun terus berjalan, entah kemana kaki ini akan membawaku. Sepertinya untuk hari
ini aku masih belum ingin bertemu dengan Michizuki. Udah lama berjalan, aku pun
tiba disebah danau.
“Wahh danau ini indah banget.” aku
pun mendekati danau itu. “Airnya juga jernih, sampai-sampai aku bisa
bercermin.”
Selang
beberapa lama kubermain didanau, kulihat waktu menunjukkan jam 08.00, matahari
juga udah terbit. Aku pun bergegas menuju kesekolah, namun ternyata pelajaran
udah dimulai.
“Hei, Kinaya. Kok tumben kamu telat?
Biasanya selalu datang paling pagi.”
“Aku tadi telat bangun tidur.”
Ucapku berbohong.
“Oo gitu. Oh iya tadi Michizuki
mencarimu loh, dia kebingungan banget mencarimu. Dia sepertinya sayang banget
deh sama kamu.” Jelasnya. Namun aku hanya terdiam.”Hei, Kinaya. Kamu kenapa
sih? Kok dari tadi gak semangat banget?”
“Huh? Nggak kok, aku gak apa-apa.”
“Hemm, aku tahu nih. Kamu lagi
tengkar ya sama Michizuki? Aku udah tahu dari raut wajahmu, kamu gak bisa
bohong.”
“Aku gak apa-apa kok, mungkin aku
Cuma gak enak badan aja.”
“Oo gitu, ya udahlah kalo emang
kayak gitu.”
Aku
pun mengikuti pelajaran seperti biasa. Saat jam istirahat siang, aku pun
bergegas berlari menjauhi kelas.
“Hei, Kinaya. Kamu mau kemana sih?
Kok buru-buru banget.” tanya temanku. Namun aku tak memperdulikannya.
Aku
tetap berlari sekencang-kencangnya. Aku mencari tempat yang ada sinar
mataharinya. Oh iya aku mau keatap sekolah aja deh. Setibanya disana.
Mungkin
tempat ini yang paling aman. Sinar matahari bebas disini, jadi bangsa vampire
mana pun gak akan bisa datang ketempat yang dipenuhi cahaya matahari seperti
ini.Tapi kenapa aku malah menjauhi Michizuki seperti ini sih? Dia kan gak punya
salah apa-apa, tapi ya udah lah. Mungkin ini yang terbaik untuk sedikit
menghindarinya.
Saat
sepulang sekolah.
“Aku bareng sama kamu ya.” Ajakku
pada teman sekelasku.
“Kenapa kamu tiba-tiba mau pulang
bersamaku? Bukannya biasanya kamu pulang bareng Michizuki.”
“Nggak apa-apa kok, aku Cuma pengen
pulang bareng kamu aja. Ayo.”
“Ya udah lah. Ayo.”
Kami
pun pulang bersama. Saat sampai dirumah, aku pun langsung menyalakan lampu ultraviolet
disetiap sudut rumahku.
“Hei, Kinaya. Kenapa nyalain lampu
ultraviolet segala sih?” tanya Ibu.
“Gak apa-apa kok Bu. Kinaya takut
gelap, kalo pake ini kan gak akan gelap lagi.”
“Pake lampu biasa kan juga bisa?
Lagian lampu ultraviolet itu kan Cuma dipasang saat mati lampu aja.”
“Gak apa-apa kok Bu, Kinaya lebih
seneng lampu seperti ini.”
“Oh iya tadi pagi Michizuki
menunggumu sampek berkeringat loh. Kasian dia, mungkin dia capek menunggumu
lama, wajahnya juga sedikit pucat. Ya udah lah kamu cepet tidur ya.”
Michizuki
ya. Aku gak boleh mundur, ini adalah keputusan yang terbaik untuknya. Aku harus
tetap maju. Aku pun lekas tidur dengan diterangi lampu ultraviolet
disekelilingku. Mungkin ini agak berlebihan, tapi gak apa-apa deh.
Keesokan
harinya aku pun melakukan hal yang sama. Esoknya lagi pun seperti itu. Hingga
saat sepulang sekolah.
“Akhir-akhir ini kamu kok aneh sih?”
tanya temenku.
“Aneh kenapa?”
“Ya aneh aja. Kamu sering datang
siang, kalo jam istirahat selalu menghilang entah kemana, dan tiap pulang
sekolah selalu buru-buru kayak gini. Emang ada apa sih, Kinaya.”
“Nggak ada apa-apa kok.”
“Kamu ada masalah ya sama
Michizuki?”
“Gak ada kok.”
“Kalo emang gak ada, gak mungkin
dalam beberapa hari ini kamu seakan menghidarinya terus.”
“Aku gak menghindarinya kok.”
Jawabku berbohong. “Oh iya, rumahku udah deket tuh. Aku pulang dulu ya.” Aku
pun buru-buru masuk kerumah. “Ibu, aku pulang.” Namun tak ada yang menjawab.
Loh
kok sepi sih, Ibu kemana ya? Gak biasanya Ibu pergi sampek menjelang malam
gini. Aku pun langsung menyalakan lampu ultraviolet, tapi…
“Loh kok lampunya gak bisa nyala
sih. Apa tadi siang gak di cas ya sama Ibu. Coba deh aku cek dulu.”
Saat
akan ngecek lampu itu, tiba-tiba seseorang memelukku dari belakang.
“Aku kangen banget sama kamu.”
Su..suara
itu. Mi..Michizuki. dulu saat mendengar suaranya aku udah langsung seneng, tapi
kenapa sekarang perasaanku jadi sedikit takut. Seketika aku pun ingin
melepaskan pelukannya, namun gak bisa. Pelukannya sangat erat mengikatku.
“Kamu mau pergi kemana, Kinayaku
sayang? Aku yakin kamu juga kangen aku kan.” Ucap lembut Michizuki.
“A..aku Cuma ingin ke kamar.”
“Oo ke kamar ya? Biar aku antar ya.”
“Ng..nggak usah. Aku bisa sendiri.”
“Kinayaku sayang, cepat atau lambat
kita akan nikah. Jadi apa gak boleh aku juga ikut menemanimu di kamar. Lagian
kita kan udah pernah ngelakuin, jadi kenapa kamu harus malu lagi.”
Saat
dia sedang berbicara, aku pun menyempatkan diri kabur dari pelukannya. Aku
bergegas masuk ke dalam kamar, namun dia masih bisa mengejarku. Dia menahan
pintu kamarku.
“Kinaya, kenapa kamu jadi seperti
ini? Kenapa kamu sekarang menghindariku?”
“Jangan dekati aku, Michizuki. Jauhi
aku.”
“Kenapa aku harus menjauhi cewek
yang kusukai. Kenapa kamu membenciku seperti ini? Apa salahku, Kinaya?” dia
terus mendekatiku.
“Aku gak membenci kamu, jadi aku
mohon jangan mendekat.”
“Kalo emang kamu gak benci aku,
kenapa kamu melarangku mendekatimu?” dia pun semakin mendekat dan akhirnya
menjatuhkanku diranjang. Tubuhnya tepat menindih tubuhku.
“Michizuki, jangan. Jangan dekati
aku, aku mohon jauhi aku.”
“Kinaya, kamu ngomong apa? Apa kamu
gak tahu gimana diriku beberapa hari ini tanpamu, batreku bener-bener habis.
Aku udah gak punya tenaga lagi, Kinaya. Sikapmu yang menghindariku seperti ini,
membuatku seperti gak ada nyawa. Tiap hari kamu selalu datang agak siang, saat
jam istirahat kamu sengaja mencari tempat yang terkena sinar matahari langsung,
dan saat malam kamu menyalakan sinar ultraviolet. Kamu sengaja melakukan itu
semua kan?” jelasnya.
Ternyata
dia udah tahu.
“A…Aku.”
“Kamu tahu semua kelemahanku,
makanya itu kamu menghindariku dengan semua kelemahanku itu kan?” tanyanya
sedih. “Kinaya, aku sayang kamu. Sayang banget. aku ingin kita seperti dulu
lagi, bersama-sama lagi.”
“Maaf. Michizuki. Kita gak bisa
seperti dulu lagi.”
“Apa maksudmu bilang kayak gitu?” bentaknya. “Denger ya Kinaya,
aku gak akan membiarkanmu menghindariku lagi. Aku gak akan membiarkanmu lari
lagi, aku gak akan pernah membiarkan itu.”
Kulihat
wajahnya sedih. Apa yang seharusnya kulakukan, apa semua yang kulakukan ini
bener.
“Michizuki, kumohon jangan dekati
aku lagi. Jauhi aku.”
Namun
dia gak memperdulikanku, perlahan tangannya bergerilya di dalam tubuhku.
“Mi..Michizuki. Jangan seperti ini,
kumohon jangan.” Aku terus berontak, tubuhku seakan tak bisa menghindari
tubuhnya yang begitu kuat. “Kumohon, jangan.” Namun dia tetep membuka satu
persatu bajuku. Aku berusaha berontak namun tak bisa. Akhirnya dia pun
mendapatkan lagi tubuhku. Berkali-kali dia melakukannya padaku, tak kuasa
tubuhku untuk melawan kekuatannya yang besar. Saat itu kurasakan permainannnya
begitu keras. Hingga aku pun terlelap dalam pelukannya.
Dinginnya
embun, membuatku terbangun dalam kelelahan. Perlahan ku membuka mata, saat
hendak terbangun ku rasakan ada lilitan tangan di pinggangku. Saat berbali
kulihat tangan Michizuki memelukku erat. Sejenak kupandangi wajahnya, kulihat
sinar matahari menerpa wajahnya. Wajahnya kelihatan gelisah dan berkeringat.
Kasihan, Michizuki. Aku pun bangun dan
langsung mengenakan pakaian. Kututup tirai jendela yang ada disamping
ranjangku. Dengan gini, dia gak akan berkeringat lagi. Kutersenyum, aku pun
menyelimuti tubuhnya dan hendak turun.
“Ibu, ibu.” Panggilku. “Kok aneh ya?
Sampek pagi gini ibu kok belum pulang ya. Biasanya kalo mau nginap selalu
ngabarin aku dulu.” pikirku. Aku pun terus mencari disetiap ruangan, namun ibu
teteap gak ada. Aku hubungi hapenya tapi
gak nyambung. “Ibu kemana sih? Kok aku hubungi gak bisa nyambung.”
Saat
aku berusaha menghubungi Ibu, tiba-tiba Michizuki memelukku dari belakang.
“Hai sayang.”
“Mi..michizuki.”
“Lagi telpon ibu ya?” senyumnya.
“Dalam beberapa hari ini ibu gak akan pulang, dia lagi jenguk saudara yang abis
melahirkan.”
“Tapi ibu kok gak ngasih tahu aku.”
“Kamu kan kemarin belum pulang dari
sekolah. Kebetulan kemarin aku datang, jadinya ibu sekalian titip pesan deh
buat kamu.” Jelasnya. “Oh iya ibu juga menyuruhku untuk menjagamu loh.”
Senyumnya nakal. Senyumannya yang nakal membuatku sedikit takut.
“A..Anu. A..aku, aku mau masak dulu.”aku
berusaha beranjak, namun Michizuki menghalangiku.
“Aku gak akan biarin kamu pergi
kemana-mana.”
“Tapi aku hanya mau masak aja.”
“Gak boleh, gak aku ijinin kamu
pergi lagi. Tadi pagi udah ninggalin aku sendirian diranjang, sekarang gak akan
aku biarin lagi.”
“Ta…tapi, aku…”
Dia
pun langsung menggendongku.
“Hei, Michizuki. Kamu mau apa?
Turunkan aku.” Namun dia gak jawab, dia membawaku keruang tamu. Dia pun
langsung merebahkan tubuhku di atas sofa. “Kau mau apa lagi?” tanyaku heran.
Aku pun berniat melarikan diri, namun tanganya dengan sigap menarikku dan
merebahkanku lagi di sofa.
“Permainanku semalam membuatmu
kesakitan ya? Maaf ya mungkin karena aku udah memendam rasa kangen sama kamu
dalam beberapa hari ini, jadi saat melihatmu semalam tubuhku jadi semakin
bersemangat. Tapi untuk kali ini aku gak akan main keras lagi kok, aku akan
lembut.”
“Jangan, Michizuki. Jangan. Lepaskan
aku.”
Dia
hanya menjawabnya dengan tersenyum. Tubuhnya semakin menggeliat di atas
tubuhku. Aku berusaha berontak, namun kekuatanku tak bisa mengalahkannya.
Tubuhnya semakin liar menjamah tubuhku. Berulang kali dia melakukannya, setiap
gerakan tubuhnya seakan mengisyaratkan bahwa dia sangat mencintaiku. Dia pun
tertidur dalam pelukanku. Ternyata dia cukup liar juga ya. Kekuatannya juga
kuat, tubuhku sampek gak bisa melawannya. Kubelai lembut rambutnya. Apa yang
kita lakukan ini baik? Apa ini gak akan membuat nyawanya jadi berbahaya?
Beberapa
saat kemudian aku pun langsung beranjak dan menuju kedapur. Aku mau masak apa
ya? Kira-kira Michizuki suka makanan apa ya? Coba aku masak sesuatu dulu ahh,
mudah-mudahan dia suka. Aku pun mulai memasak beberapa makanan. Saat masakan
hampir matang, tiba-tiba Michizuki memelukku lagi dari belakang.
“Hemm, baunya enak banget. Lagi
masak apa sih?”
“Oo, ini. Aku lagi masak sup.”
“Hemm kelihatannya enak banget nih.
Aku jadi laper nih.” senyumnmya.
“Tunggu dulu ya, ntar lagi
masakannya udah matang kok.”
Dia
pun menunggu di meja makan dengan sabar. Beberapa saat kemudian masakan yang
ditunggu udah matang.
“Taraa!!! Masakannya udah matang.” Senyumku
sambil membawa makanan ke meja makan.
“Hemm, baunya enak banget.” dia pun
langsung mengambil sendok dan mencicipi sup itu.
“Ehh, tunggu dulu, itu masih panas.”
Namun dia udah terlanjur memasukkan makanan itu kedalam mulutnya.
“Emm, makanan ini enak banget.”
kulihat dia menyantap makanannya dengan lahap“Ternyata makanan manusia itu enak
juga ya? Baru kali ini aku makan makanan seenak ini.”
Oh
iya Michizuki kan gak pernah makan makanan manusia, wajar aja dia bicara gitu.
“Makannya pelan-pelan aja, gak akanada
yang ngambil makanannya. Ini semua aku masak emang untukmu.” Senyumku.
“Benarkah ini semua untukku?” tanyanya
heran, aku hanya mengangguk. “Terima kasih ya, Kinayaku sayang.”
Dia
pun langsung menyantap semua makanan yang ada di atas meja, melihatnya seperti
itu membuatku seneng meski pun ada sedikit kekhawatiran. Apa bener didekatku
hanya bisa membuatnya terluka?Apa bener vampire yang lain akan mengincar dan
membunuhku? Semua kekhawatiran itu membuatku sedikit takut untuk selalu berada
didekatnya.
Beberapa
saat kemudian.
“Wahh perutku kenyang banget.
Makanannya bener-bener enak.”
Namun
saat dia berbicara aku malah melamun.
“Kinaya.” Panggilannya menyadarkan
lamunanku.
“Oo, ehh. I..iya, Michizuki. Kenapa?
Kamu tadi bilang apa?”
“Kamu kenapa? Lagi mikrin sesuatu
ya?”
“Ng..Nggak kok. Aku gak mikirin
apa-apa.” Jawabku gugup.
“Jangan bo’ong, aku perhatiin dari
tadi kamu ngelamun terus. Aku ajak bicara kamu hanya diam aja.”
“Oo, itu. Aku..aku Cuma kecapek’an
aja.” Aku berusaha berbo’ong.
“Kecapek’an gara-gara perbuatanku
ya?” senyumnya.
“Perbuatan?” tanyaku bingung.
“Iya, perbuatanku yang semalam dan
yang tadi pagi. Pasti kamu kewalahan ya, tenagamu juga pasti udah habis. Apa
karena itu kamu kecapek’an?”
“Oo, ng..nggak kok. Bukan itu.”
“Kalo emang bukan itu, bisa kan kita
sekarang ngelakuin lagi?” candanya.
“A..ak..aku mau cuci piring dulu.”
jawabku gugup.
“Aku bantu ya?”
“Gak usah, Michizuki. Biar aku aja
yang cuci piring, kamu istirahat aja.”
“Bukannya yang seharusnya istirahat
itu kamu, Kinaya. Kamu kan kecapek’an?”
“Aku gak apa-apa kok, Cuma cuci
piring aja. Gak terlalu berat buatku.”
“Ya udah kalo kayak gitu.” Dia pun
langsung pergi kekamar atas.
akumembereskan
semua piring yang ada dimeja makan. Huftt, apa-apan sich Michizuki itu. Kenapa minta
lagi? apa yang semalam dan tadi pagi itu masih kurang? Apa semua vampire kayak
gitu ya?
Selesai
mencuci piring aku pun pergi kekamar, kulihat Michizuki sedang tidur terlelap
di atas ranjang. Kudekati perlahan, kupandangi wajahnya yang lembut. Cowok
setampan dia, semua orang pun gak akan sangka kalo dia seorang vampire. Aku pun
menyelimuti tubuhnya. Tubuh ini yang selalu menghabiskan tenagaku, tubuh ini
juga yang selalu menjagaku.
Aku
mau mandi dulu ahh, biar gak bau kalo dideket Michizuki. Aku pun langsung
beranjak pergi kekamar mandi, kubahasi sekujur tubuhku dengan air dan sabun.
Waah segarnya!!! Saat sedang membasahi tubuhku, kurasakan sebuah tangan
menggelayut di perut dan dadaku. Sontak kuterkejut dan berbalik.
“Mi..Michizuki. Kenapa kamu disini?”
“Aku juga pengen mandi.”
“Kalo kamu mau mandi tunggu aku selesai mandi dulu.”
“Gak ahh, aku maunya mandi bareng
sama Kinaya aja.” Senyumnya.
Tangannya
mulai menjamah tubuhku yang saat itu telanjang.
“Michizuki, jangan. Kita udah
ngelakuinnya berulang kali.”
“Tapi meski udah berulang kali, aku
masih tetep pengen.”Tangannya pun mulai menjamah ke bagian tubuhku yang lain.
“Michizuki, hentikan.” Aku pun
berontak. Secepat kilat kukenakan handuk dan berlari keluar kamar mandi. Dan
seketika Michizuki sudah ada dihadapanku.
“Kinayaku sayang, kamu mau kemana?”
Tiba-tiba
dia pun langsung menggendongku dan membawaku ke atas ranjang. Tubuhku tak
berdaya dibuatnya, tubuhnya semakin liar beradu di atas tubuhku. Berulang kali
dia melakukannya. Hingga aku pun terlelap dalam pelukannya yang manis.
Saat
beranjak sore, kudengar ada suara yang memanggilku.
“Kinaya, Kinaya.”
Sontak
kuterbangun dalam kelelahanku. Kulihat disebelahku, tak ada lagi Michizuki.
Ranjangku pun juga berantakan, kulihat tubuhku juga telanjang. Kurasakan
tubuhku sangat lelah.
“Kinaya.” Suara itu kembali
terdengar.
Itu
kan suara Ibu, oh ternyata Ibu udah pulang. Aku bergegas mengenakan pakaian dan
turun.
“Iya Bu.”
“Kamu kemana aja, Ibu
panggil-panggil kok gak jawab.”
“Tadi Kinaya lagi istirahat dikamar
Bu, jadi gak terlalu denger Ibu panggil.”
“Oo gitu. Oh iya Kinaya, kemarin Ibu
buru-buru kerumah saudara jadi gak sempat ngabarin kamu. Tapi Ibu udah titip
pesan kok sama Michziuki, apa dia udah sampek’in sama kamu.”
“Udah kok Bu, Michizuki udah sampek’in
sama aku. Oh iya Ibu sekarang istirahat aja, ibu pasti masih capek.”
“Ya udah kalo gitu Ibu istirahat dulu
ya.” Ibu pun langsung pergi kekamar.
Aku
pun juga istirahat dikamar dan membereskan ranjangku. Hufftt, ranjangku jadi
berantakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar