Keesokan
harinya saat disekolah.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi, Pak guru.” jawab
seluruh murid.
“Hari ini kita kedatangan murid
pindahan baru dari Shibuya. Silahkan perkenalkan dirimu.”
“Perkenalkan, namaku Ryota. Saya murid
pindahan dari Shibuya.”
Ternyata
pagi itu ada murid pindahan baru, dia cowok yang cukup tampan. Sepertinya dia
juga ramah.
“Karena kamu murid pindahan baru
yang perlu beradaptasi dan lebih mengenal sekolah ini, maka dari itu saya akan
menyerahkanmupada Kinaya.”
“Loh, kok saya Pak?” tanyaku heran.
“Karena kamu siswi yang ramah, jadi
kamu orang yang tepat mendampingi Ryota dalam 1 semester ini. Gimana Kinaya?
Kamu mau kan?”
“I...iya Pak. Baiklah.” Aku
menjawabnya dengan terpaksa.
“Baiklah kalo gitu kamu duduk
disamping Kinaya.”
Dia
pun berjalan menuju bangkuku.
“Kenalin, namaku Ryota. Mohon
bimbingannya ya.” Ucapnya lembut.
“Namaku Kinaya, mohon bimbingannya
juga ya.”
Kami
pun mengikuti pelajaran dikelas. Kelihatannya dia cukup ramah, senyumannya juga
cukup manis. Gak kalah sama Michizuki.
Saat
bel istirahat berbunyi. Tiba-tiba seorang cowok memelukku dari belakang.
“Hai, Kinayaku sayang.”
“Michizuki.”
“Istirahat yukk.” Ajaknya.
“Maaf, Michizuki. Aku gak bisa.”
“Kenapa? Kamu ada tugas tambahan
lagi ya dari Pak Guru?”
“Bukan. Aku hanya…”
Saat
sedang berbicara dengan Michizuki, tiba-tiba Ryota datang.
“Kinaya. Ayo kita jalan-jalan
keliling sekolah, aku ingin lebih mengenal sekolah ini. Setelah itu kita makan
sama-sama yukk.”
“I…iya.” Jawabku gugup. Kulihat mata
Michizuki menatap Ryota dengan tajam, sepertinya dia gak suka kehadiran Ryota.
“Mi..michizuki, kenalin ini Ryota. Dia murid pindahan dari Shibuya.” Jelasku.
Namun
Michizuki seakan gak memperdulikan perkataanku.
“Oo jadi kamu yang mau ngajak
pacarku kencan?”
“Aku gak ngajak dia kencan, aku
hanya ngajak dia keliling sekolah aja. Aku kan murid baru jadi butuh bimbingan
darinya.”
“I..itu, Michizuki. Pak Guru yang
menyuruhku membimbingnya.” Jawabku.
Tanpa
sepatah katapun Michizuki langsung beranjak pergi, sepertinya dia kesel karena
aku lebih milih nemenin Ryota dari dia. Tapi ya sudah lah gak apa-apa, nanti
juga dia gak akan kesel lagi. Lagian juga begini mungkin lebih baik, aku bisa
sedikit menjaga jarak dengannya.
Aku
pun mengajaknya berputar-putar mengelilingi sekolah.
“O iya tadi itu pacarnya Kinaya ya?”
“Oo itu. I..iya, Michizuki itu
pacarku.”
“Sepertinya dia sangat menyukai
Kinaya ya?” senyumnya. “Pantesan aja dia kelihatan agak cemburu saat denger
kalo Kinaya mau nemenin aku. Maaf ya.”
“Oh,ng…nggak kok. Nggak apa-apa.
Michizuki emang seperti itu, Sifatnya kadang gak bisa ditebak, tapi dibalik
itu semua dia baik kok.”
“Benarkah dia baik? Atau dia baik
hanya sama kamu aja, kamu kan pacarnya.” Ledeknya.
“Nggak kok, dia baik sama semua
orang.”
Namun
Ryota hanya tersenyum, kemudia kami menghabiskan waktu bersama sampai saat
sepulang sekolah.
“Kinaya, kita pulang bareng yukk.
Kebetulan arah rumah kita kan sama.” Ajak Ryota.
“I..iya, baiklah.” Jawabku ragu.
Namun
tiba-tiba ada tangan yang menarikku.
“Gak. Kinaya akan pulang bersamaku.”
Michizuki menyela. “Lagian ngapain sih kamu selalu menyela kebersamaan kita.
Ganggu aja.”
“Michizuki, gak boleh ngomong gitu.”
“Emang bener kan, dia selalu ganggu
kita dari tadi. Gak ada kerjaan lain apa. Kalo mau minta bantuan, minta bantuan
aja sama murid cewek lain. kenapa harus Kinayaku?”
“Michizuki, hentikan.” Bentakku.
“Ya udah. Maaf kalo ternyata aku
udah ganggu kalian berdua. Sekali lagi aku minta maaf. kalo gitu aku mau pamit
pulang dulu, sampai ketemu besok Kinaya.” Dia pun langsung beranjak pergi.
“Ryota.” Panggilku. Aku pun berusaha
mengejarnya, namun tangan Michizuki menghentikanku.
“Kinayaku sayang, sekarang kita
tinggal berdua. Gak ada lagi yang akan ganggu kita.”
“Michizuki, gak seharusnya kamu
bersikap seperti itu pada Ryota. Dia kan murid baru, jadi dia juga butuh teman
ngobrol. Apa kamu gak bisa sedikit baik dengannya? Bersikaplah sedikti dewasa,
Michizuki.” bentakku. Kulihat sejenak wajahnya tertunduk lesu.
Tanpa
pikir panjang, aku pun langsung mengejar Ryota. Kemana ya perginya dia? Kok
cepet banget jalannya. Kucari dia disepanjang jalan, namun tak ada. Saat
melintasi taman, kulihat dia sedang terduduk lesu disana. Itu Ryota, akhirnya
aku bisa nemuin dia juga. Aku pun berlari menuju Ryota.
“Ryota.” Panggilku.
“Kinaya. Kenapa kamu ada disini?
Kalo Michizuki melihatmu bersamaku lagi, dia pasti akan marah lagi.”
“Gak kok. Dia gak akan marah lagi,
mungkin dia marah Cuma agak cemburu aja.” Jelasku.
“Beneran dia Cuma cemburu aja?” aku
hanya mengangguk. “Ya udah kalo gitu kita bisa pulang bareng kan?” senyumnya.
“Bisa kok. Ayoo kita pulang bareng.”
Aku pun mengiyakan ajakan Ryota.
Saat
perjalanan kami saling bertukar cerita, entah kenapa aku merasa nyaman
bersamanya. Dia pun mengantarku pulang sampai didepan rumah. Aku pun langsung
tertidur pulas diranjangku.
Keesokan
harinya saat aku mau berangkat sekolah, tiba-tiba kulihat didepan pagar rumahku
ada Ryota.
“Ryota.”
“Pagi, Kinaya.”
“Kenapa kamu ada disini?”
“Aku ingin berangkat sekolah bareng
sama kamu, Kinaya. Boleh kan?”
“I..iya. Boleh.”
“Oh iya semalam aku sengaja mencari
ini untukmu loh.” Dia menyodorkan sebuah bunga tulip putih padaku.
“Wahh tulip putih, indah banget.”
Kagumku. Kucium bunga itu. “Kenapa tiba-tiba kamu memberiku bunga? Tulip putih
lagi, itu kan bunga kesukaaanku.”
“Cuma feeling aja kok. Karena
menurutku bunga tulip putih itu sama indahnya dengan Kinaya.”
“Hemm, kamu ini gombal terus.”
Candaku. “Terima kasih ya, Ryota.”
Dia
hanya membalas dengan senyuman. Kami pun berangkat bersama, ada sedikit
kekhawatiran dipikiranku. Apa MIchizuki akan marah lagi seperti kemarin? Apa kata-kataku
kemarin agak keterlaluan ya? Sesampainya dikelas, kami pun duduk berdampingan
dan mengikuti pelajaran bersama-sama. Saat istirahat tiba.
“Kinaya, nanti pulang sekolah
anterin aku beli buku yukk.”
“Beli buku.”
“Iya beli buku. Aku gak tahu buku
apa aja yang harus dibeli, jadi aku minta bantuanmu ya.”
“Baiklah kalo gitu, sepulang sekolah
kita akan langsung ke toko buku.”
Aku
sangat bersemangat. Saat sepulang sekolah kami pun langsung pergi ke toko buku.
Kami mencari buku-buku yang sekiranya diperlukan. Dalam perjalanan, terkadang
obrolan kami diselingi sedikit canda tawa.
“Terima kasih ya udah nganterin aku
beli buku.”
“Sama-sama. Sebagai seorang teman
kan kita emang harus saling bantu.”
Namun
saat ada penjual ice cream keliling lewat, tiba-tiba aja.
“Tunggu ya, Kinaya. Aku mau beli es
krim dulu, tunggu sebentar ya.”
Aku
hanya mengangguk. Aku pun menunggunya dengan sabar, tak lama kemudian dia
kembali dengan membawa 2 buah es krim.
“Ini untukmu.” Dia menyodorkan ice
cream rasa blueberry padaku, itu adalah es krim kesukaanku.
“Untukku?” tanyaku heran.
“Iya, untukmu. Kamu suka es krim
rasa blueberry kan?”
“Tapi, bagaimana kamu tahu kalo aku
suka es krim blueberry?”
“Cuma feeling aja kok, lagian aku
juga suka es krim blueberry.” Senyumnya.
Aku
pun perlahan memakan es krim itu. Kenapa dia bisa tahu semua kesukaanku ya?
Bagaimana dia bisa tahu? Bahkan Michizuki pun mungkin juga gak tahu hal sekecil
ini. Bukankah kita masih baru kenal 2 hari ini, namun seakan dia yang lebih
tahu kesukaanku.
Saat
melewati sebuah sungai, tiba-tiba Ryota mendekati suangai itu. Aku pun
mengikutinya.
“Liat deh Kinaya, sungainya indah
banget ya? Airnya jernih lagi.” ucap Ryota.
“Iya, airnya jernih. Sampai-sampai
aku bisa bercermin dipermukaanya.” Senyumku.
“Tiap kali ngeliat sungai ini, aku
jadi teringat seseorang.” Suaranya sendu.
“Siapa? Pasti pacar kamu ya?”
candaku.
“Bukan kok, hanya teman aja.”
“Ayooo, ngaku aja. Pasti pacar kamu
kan? Kalo emang dia hanya teman, gak mungkin kamu sampai sesedih itu saat
membicarakannya.” Kata-kataku sedikit membuatnya terdiam. “Kenapa kamu sedih?
Apa kalian bertengkar?”
“Gak kok, malahan kita gak pernah
bertengkar. Tiap hari kita selalu tersenyum.”
“Nah terus apa dong masalahnya?”
tanyaku penasaran.
Namun
tiba-tiba…
“Udah hampir gelap nih, kita pulang
aja yukk. Nanti kamu dicariin loh sama Mamamu.”
Dia
mencoba mengalihkan pembicaraan dan hendak beranjak, namun dengan sigap aku
langsung menarik tangannya. Dia berbalik tepat didepan wajahku. Saat itu kami
saling berhadap-hadapan. Kami pun sejenak langsung terdiam. Seketika pipiku
jadi memerah, aku yang tadi sengaja menarik tangannya pun kini diam membisu tak
berani menatap wajahnya. Tapi beberapa saat kuberanikan diri membuka mulut…
“Ma…ma..maaf.” ucapku agak
terbata-bata.
Namun
tanpa kusadari tangan Ryota membelai pipiku.
“Pipimu memerah. Aku senang melihat
Kinaya yang sedang malu, wajahnya seperti buah tomat aja. Merah segar, jadi
pengen gigit pipinya Kinaya.”
Kata-kata
itu semakin membuatku malu, tanpa pikir panjang aku pun beranjak pergi dan
meninggalkan Ryota. Kuberlari sekencang-kencangnya. Aduhh apa-apa’an aku ini.
Gak seharusnya aku tadi menarik tangannya. Pikiranku bener-bener gak karuan.
Sesampainya dirumah aku pun langsung
mandi. Segar juga habis lari langsung mandi. Aku merebahkan tubuhku yang hanya
memakai handuk ditempat tidur. Malas mau ganti baju, pakai handuk aja deh.
Lagipula aku juga udah ngantuk. Aku pun perlahan memejamkan mataku. Beberapa
saat mataku terpejam, aku merasa tubuhku sangat berat. Aku mencoba membuka mata…
“Mi…Michizuki.” Kuterkejut. Tubuhnya
menindih tepat di atas tubuhku.
“Apa yang kamu lakukan seharian ini?”
wajahnya bener-bener serius, gak seperti Michizuki yang kukenal. “Jawab!!!”bentaknya.
“A…aku.”
“Apa kamu berusaha mau ninggalin aku?
Apa kamu juga berusaha selingkuhin aku, Kinaya?”
“A..aku.. aku gak bermaksud seperti
itu kok.” Ucapku gugup.
“Terus apa? Jalan bareng, ngasih
bunga, ngasih es krim, tertawa bersama, dia juga sempat membelai mesra pipimu.”
Michizuki, ternyata dia mengikutiku terus.
“Tapi itu gak seperti yang kamu
pikir, kami hanya…”
“Hanya apa? Hanya akan bersekongkol
dan ninggalin aku, gitu kan?” emosinya.
“Michizuki, dia itu hanya…”
Belum
sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba aja bibir Michizuki udah
melahap bibirku. Ciumannya sangat liar, sampai-sampai membuat bibirku basah. Aku
berusaha melepaskan ciuman itu, namun bibirnya terus saja melumat bibirku.
Handuk yang tadi menyelimuti tubuhku, dilepas paksa.
“Michizuki, hentikan. Hentikan!!!”
Dia
memelukku dengan sangat erat, aku berusaha berontak. Tubuhku berusaha melawan
kekuatan tubuhnya, namun tetap saja kekuatanku tak sebanding dengan
kekuatannya. Dalam sekejap dia pun telah telanjang bulat di atas tubuhku. Tubuhnya
menggeliat diatas tubuhku.
“Michizuki, udah. Hentikan!!!
Jangan!!! Jangan lakukan seperti ini lagi.”
Namun
perkataanku sama sekali gak dia dengarkan, tubuhnya semakin liar menguasai
tubuhku. Cengkeraman tubuhnya semakin kuat dan akhirnya dia pun berhasil
mendapatkan tubuhku lagi. bukan hanya sekali, berulang kali dia melakukan itu. Aku
begitu lelah, hingga tak sanggup lagi untuk menggerakkan tubuhku.
Kemudian dia pun membelai mesra
rambutku, rambut yang basah terkena keringat kami berdua. Dia menatapku dengan
sangat lembut.
Tokk…tokk…tokkk…
ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
“Kinaya.”
Suara
itu tiba-tiba membangunkanku. Kulihat tubuhku masih tak megenakan pakaian, aku
pun langsung bergegas memakai piyama dan membuka pintu. Suara siapa ya? Kok
kayaknya suara itu gak asing buatku. Saat aku membuka pintu..
“Selamat pagi, Kinaya.” Suara lembut
itu menyapaku dipagi hari.
“Ryota.” Ucapku sedikit terkejut.
“Waduhh cewek cantik kok bangunnya
siang.” Guraunya.
“Kenapa kamu ada disini? Bukankah
sekarang hari minggu?”
“Justru karena hari minggu makanya
aku datang kesini.”
“Memangnya ada apa?” tanyaku heran.
“Aku mau ngajak Kinaya jalan-jalan.”
“Jalan-jalan.”
“Iya jalan-jalan, mumpung sekarang
hari minggu. Kinaya mau kan?”
Sejenak
aku terdiam. Aku hanya takut Michizuki akan marah lagi kalo dia tahu aku jalan
sama Ryota. Tapi aku juga gak enak mau nolak ajakan Ryota, dia kan orangnya
baik. Aku jadi gak tega.
“Hei, Kinaya.” Dia mengagetkanku.
“Kamu lagi mikir apa sih?”
“Ng..nggak kok. Aku gak lagi mikirin
apa-apa. Memangnya kita mau jalan-jalan kemana?”
“Ya kemana aja yang penting bisa
bikin Kinaya senang. Kinaya mau kan?”
“Ya udah kalo gitu, tapi aku harus
mandi dulu ya.”
“Oke, kalo gitu aku nunggu dibawah
ya.”
Aku
pun membalasnya dengan senyuman. Sebenernya aku takut Michizuki, tapi aku juga
gak bisa menolak ajakannya Ryota. Mudah-mudahan saja gak ada masalah lagi.
Selesai
mandi dan memakai pakaian, aku pun bergegas turun.
“Maaf ya Ryota harus nunggu lama.”
“Nggak apa-apa kok, meski harus
nunggu bertahun-tahun juga aku akan tetap setia nunggu Kinaya.” Guraunya. “Ayo
kita berangkat.”
Aku
pun hanya tersenyum.
“Ibu. Aku berangkat dulu ya?”
“Hati-hati di jalan ya.”
Aku
hanya mengangguk. Dalam perjalanan kami banyak bercanda bersama, seakan kami
sudah lama saling kenal. Namun saat aku hendak meloncati genangan air yang ada
di jalan, tiba-tiba saja aku hampir terpeleset. Untungnya dengan sigap Ryota
menangkapku.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Ryota
cemas.
Wajahnya
begitu dekat denganku, matanya yang tajam seakan menusuk jauh ke dalam hatiku.
Kenapa? Kenapa jantungku berdebar-debar sekencang ini? Kenapa debarannya sama
seperti saat aku bersama Michizuki?
“Kinaya. Kinaya” panggilannya
membuatku terbangun dari lamunanku.
“I..iya. kenapa?”
“Kamu gak apa-apa?”
“Ng..nggak kok. A..aku nggak
apa-apa.”
“Kenapa kata-katamu jadi gugup kayak
gitu?”
“A..aku gak gugup kok, aku Cuma sedikit
terkejut.”
“Ya udah kalo gitu kamu tunggu
sebentar disini ya.”
“Kamu mau kemana?”
“Udah, kamu tunggu aja disini. Aku
akan segera kembali, jangan kemana-kemana loh.”
Dia
pun langsung berlari. Sebenranya dia mau kemana sih? Beberapa saat menunggu dia
pun kembali berlari dengan sebuah botol minum di tangannya. Hoss…hosss… nafasnya
terdengar terengah-engah.
“Ini minum.”
“Air putih?”
“Iya, air putih. Air bisa
meredakanmu yang lagi terkejut.”
Sejenak
aku pun menatapnya.
“Hei hei, kenapa kamu menatapku
seperti itu? Tenang aja, air itu aman kok. Aku gak memasukkan apapun kedalamnya.”
Aku
pun langsung meminumnya. Aku hanya berfikir kenapa Ryota seperhatian ini sama
aku? Jauh-jauh dia berlari hanya untuk membelikanku minuman.
“Makanya lain kali kamu harus lebih
berhati-hati.”Senyumnya. “Biar kamu gak terpeleset lagi mungkin akan lebih baik
kalo kita berpegangan.”
Dia
pun langsung menjabat tanganku. Seketika wajahku memerah, tak bisa berkata
apa-apa. Aku hanya merasakan tangan Ryota sangat lembut. Kami pun kembaIi
berjalan, dan tibalah kami di suatu tempat.
“Wahh taman hiburan.” Kagumku.
“Kamu senang?” tanyanya.
Aku
hanya mengangguk, aku pun berlari gak sabar mau mencoba semua wahana yang ada
disana.
“Hei, Kinaya. Tunggu. Jangan lari,
hati-hati.” Dia mengejarku.
Kami
pun naik di wahana kincir raksasa. Didalam kincir
itu hanya ada kami berdua. Mataku tak berkedip melihat suasana disekitar taman
bermain.
“Wahh indahnya!!!”
kutersenyum pada Ryota.
“Kamu senang banget taman
bermain ya?”
“Emh.” Jawabku singkat
sambil mengangguk.
Aku pun kembali melihat suasana taman itu. Namun saat aku sedang menikmati
pemandangan disana, tiba-tiba saja Ryota memelukku dari belakang.
“Ry..Ryo..ta. A..apa yang
kamu lakukan?”
Ku berusaha melepaskan pelukannya, namun dia tak membiarkanku.
“Aku hanya ingin memeluk
sesuatu yang seharusnya jadi milikku.”
“A..apa maksudmu?”
Dia tak menjawab, kurasakan pelukannya semakin erat di tubuhku. Perlahan
kurasakan ketenangan saat dalam pelukannya. Perasaan apa ini? Kenapa begitu
damai dan tenang. Aku gak pernah merasakannya sebelumnya, bahkan saat bersama
Michizuki aku tak pernah merasakan seperti ini.
Beberapa saat berselang, dia pun perlahan melepaskan pelukannya.
“Kincirnya udah mau
berhenti, ayo kita siap-siap turun.” Namun aku hanya bisa terdiam. “Hei,
Kinaya.” Tegurannya membuatku terbangun dalam lamunanku. “Kamu kenapa? Kenapa
kamu diam aja?”
“Oh. Ng..nggak apa-apa kok. A..ayo kita
turun.”
Aku tak berani memandangnya, aku hanya bisa menunduk. Kami pun terus berjalan-jalan
mengelilingi taman bermain itu, tapi mulutku diam seribu bahasa. Tak ada satu
pun kata-kata yang bisa ku ucapkan setelah kejadian tadi.
“Kinaya, kenapa dari tadi
kamu terdiam? Kamu gak apa-apa kan? Atau mungkin kamu mau makan, aku belikan makan
ya? Apa kamu mau minum?”
“Ng..nggak kok. Aku gak apa-apa.”
“Terus, kenapa dari tadi kamu diam aja?”
“A..aku hanya capek aja kok.”
“Kamu capek? Ya udah kalo gitu kita
sekarang pulang aja ya?”
“Nggak usah, nggak usah. Aku baik-baik
aja kok.”
Ryota. Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia begitu perhatian? Kenapa juga dia
seakan mengerti semua tentangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar