Minggu, 17 Maret 2013

My Lovers is a Vampire 4


Keesokan harinya saat disekolah.
            “Selamat pagi anak-anak.”
            “Selamat pagi, Pak guru.” jawab seluruh murid.
            “Hari ini kita kedatangan murid pindahan baru dari Shibuya. Silahkan perkenalkan dirimu.”
            “Perkenalkan, namaku Ryota. Saya murid pindahan dari Shibuya.”
Ternyata pagi itu ada murid pindahan baru, dia cowok yang cukup tampan. Sepertinya dia juga ramah.
            “Karena kamu murid pindahan baru yang perlu beradaptasi dan lebih mengenal sekolah ini, maka dari itu saya akan menyerahkanmupada Kinaya.”
            “Loh, kok saya Pak?” tanyaku heran.
            “Karena kamu siswi yang ramah, jadi kamu orang yang tepat mendampingi Ryota dalam 1 semester ini. Gimana Kinaya? Kamu mau kan?”
            “I...iya Pak. Baiklah.” Aku menjawabnya dengan terpaksa.
            “Baiklah kalo gitu kamu duduk disamping Kinaya.”
Dia pun berjalan menuju bangkuku.
            “Kenalin, namaku Ryota. Mohon bimbingannya ya.” Ucapnya lembut.
            “Namaku Kinaya, mohon bimbingannya juga ya.”
Kami pun mengikuti pelajaran dikelas. Kelihatannya dia cukup ramah, senyumannya juga cukup manis. Gak kalah sama Michizuki.
Saat bel istirahat berbunyi. Tiba-tiba seorang cowok memelukku dari belakang.
            “Hai, Kinayaku sayang.”
            “Michizuki.”
            “Istirahat yukk.” Ajaknya.
            “Maaf, Michizuki. Aku gak bisa.”
            “Kenapa? Kamu ada tugas tambahan lagi ya dari Pak Guru?”
            “Bukan. Aku hanya…”
Saat sedang berbicara dengan Michizuki, tiba-tiba Ryota datang.
            “Kinaya. Ayo kita jalan-jalan keliling sekolah, aku ingin lebih mengenal sekolah ini. Setelah itu kita makan sama-sama yukk.”
            “I…iya.” Jawabku gugup. Kulihat mata Michizuki menatap Ryota dengan tajam, sepertinya dia gak suka kehadiran Ryota. “Mi..michizuki, kenalin ini Ryota. Dia murid pindahan dari Shibuya.” Jelasku.
Namun Michizuki seakan gak memperdulikan perkataanku.
            “Oo jadi kamu yang mau ngajak pacarku kencan?”
            “Aku gak ngajak dia kencan, aku hanya ngajak dia keliling sekolah aja. Aku kan murid baru jadi butuh bimbingan darinya.”
            “I..itu, Michizuki. Pak Guru yang menyuruhku membimbingnya.” Jawabku.
Tanpa sepatah katapun Michizuki langsung beranjak pergi, sepertinya dia kesel karena aku lebih milih nemenin Ryota dari dia. Tapi ya sudah lah gak apa-apa, nanti juga dia gak akan kesel lagi. Lagian juga begini mungkin lebih baik, aku bisa sedikit menjaga jarak dengannya.
Aku pun mengajaknya berputar-putar mengelilingi sekolah.
            “O iya tadi itu pacarnya Kinaya ya?”
            “Oo itu. I..iya, Michizuki itu pacarku.”
            “Sepertinya dia sangat menyukai Kinaya ya?” senyumnya. “Pantesan aja dia kelihatan agak cemburu saat denger kalo Kinaya mau nemenin aku. Maaf ya.”
            “Oh,ng…nggak kok. Nggak apa-apa. Michizuki emang seperti itu, Sifatnya kadang gak bisa ditebak, tapi dibalik itu semua dia baik kok.”
            “Benarkah dia baik? Atau dia baik hanya sama kamu aja, kamu kan pacarnya.” Ledeknya.
            “Nggak kok, dia baik sama semua orang.”
Namun Ryota hanya tersenyum, kemudia kami menghabiskan waktu bersama sampai saat sepulang sekolah.
            “Kinaya, kita pulang bareng yukk. Kebetulan arah rumah kita kan sama.” Ajak Ryota.
            “I..iya, baiklah.” Jawabku ragu.
Namun tiba-tiba ada tangan yang menarikku.
            “Gak. Kinaya akan pulang bersamaku.” Michizuki menyela. “Lagian ngapain sih kamu selalu menyela kebersamaan kita. Ganggu aja.”
            “Michizuki, gak boleh ngomong gitu.”
            “Emang bener kan, dia selalu ganggu kita dari tadi. Gak ada kerjaan lain apa. Kalo mau minta bantuan, minta bantuan aja sama murid cewek lain. kenapa harus Kinayaku?”
            “Michizuki, hentikan.” Bentakku.
            “Ya udah. Maaf kalo ternyata aku udah ganggu kalian berdua. Sekali lagi aku minta maaf. kalo gitu aku mau pamit pulang dulu, sampai ketemu besok Kinaya.” Dia pun langsung beranjak pergi.
            “Ryota.” Panggilku. Aku pun berusaha mengejarnya, namun tangan Michizuki menghentikanku.
            “Kinayaku sayang, sekarang kita tinggal berdua. Gak ada lagi yang akan ganggu kita.”
            “Michizuki, gak seharusnya kamu bersikap seperti itu pada Ryota. Dia kan murid baru, jadi dia juga butuh teman ngobrol. Apa kamu gak bisa sedikit baik dengannya? Bersikaplah sedikti dewasa, Michizuki.” bentakku. Kulihat sejenak wajahnya tertunduk lesu.
Tanpa pikir panjang, aku pun langsung mengejar Ryota. Kemana ya perginya dia? Kok cepet banget jalannya. Kucari dia disepanjang jalan, namun tak ada. Saat melintasi taman, kulihat dia sedang terduduk lesu disana. Itu Ryota, akhirnya aku bisa nemuin dia juga. Aku pun berlari menuju Ryota.
            “Ryota.” Panggilku.
            “Kinaya. Kenapa kamu ada disini? Kalo Michizuki melihatmu bersamaku lagi, dia pasti akan marah lagi.”
            “Gak kok. Dia gak akan marah lagi, mungkin dia marah Cuma agak cemburu aja.” Jelasku.
            “Beneran dia Cuma cemburu aja?” aku hanya mengangguk. “Ya udah kalo gitu kita bisa pulang bareng kan?” senyumnya.
            “Bisa kok. Ayoo kita pulang bareng.” Aku pun mengiyakan ajakan Ryota.
Saat perjalanan kami saling bertukar cerita, entah kenapa aku merasa nyaman bersamanya. Dia pun mengantarku pulang sampai didepan rumah. Aku pun langsung tertidur pulas diranjangku.















 

Keesokan harinya saat aku mau berangkat sekolah, tiba-tiba kulihat didepan pagar rumahku ada Ryota.
            “Ryota.”
            “Pagi, Kinaya.”
            “Kenapa kamu ada disini?”
            “Aku ingin berangkat sekolah bareng sama kamu, Kinaya. Boleh kan?”
            “I..iya. Boleh.”
            “Oh iya semalam aku sengaja mencari ini untukmu loh.” Dia menyodorkan sebuah bunga tulip putih padaku.
            “Wahh tulip putih, indah banget.” Kagumku. Kucium bunga itu. “Kenapa tiba-tiba kamu memberiku bunga? Tulip putih lagi, itu kan bunga kesukaaanku.”
            “Cuma feeling aja kok. Karena menurutku bunga tulip putih itu sama indahnya dengan Kinaya.”
            “Hemm, kamu ini gombal terus.” Candaku. “Terima kasih ya, Ryota.”
Dia hanya membalas dengan senyuman. Kami pun berangkat bersama, ada sedikit kekhawatiran dipikiranku. Apa MIchizuki akan marah lagi seperti kemarin? Apa kata-kataku kemarin agak keterlaluan ya? Sesampainya dikelas, kami pun duduk berdampingan dan mengikuti pelajaran bersama-sama. Saat istirahat tiba.
            “Kinaya, nanti pulang sekolah anterin aku beli buku yukk.”
            “Beli buku.”
            “Iya beli buku. Aku gak tahu buku apa aja yang harus dibeli, jadi aku minta bantuanmu ya.”
            “Baiklah kalo gitu, sepulang sekolah kita akan langsung ke toko buku.”
Aku sangat bersemangat. Saat sepulang sekolah kami pun langsung pergi ke toko buku. Kami mencari buku-buku yang sekiranya diperlukan. Dalam perjalanan, terkadang obrolan kami diselingi sedikit canda tawa.
            “Terima kasih ya udah nganterin aku beli buku.”
            “Sama-sama. Sebagai seorang teman kan kita emang harus saling bantu.”
Namun saat ada penjual ice cream keliling lewat, tiba-tiba aja.
            “Tunggu ya, Kinaya. Aku mau beli es krim dulu, tunggu sebentar ya.”
Aku hanya mengangguk. Aku pun menunggunya dengan sabar, tak lama kemudian dia kembali dengan membawa 2 buah es krim.
            “Ini untukmu.” Dia menyodorkan ice cream rasa blueberry padaku, itu adalah es krim kesukaanku.
            “Untukku?” tanyaku heran.
            “Iya, untukmu. Kamu suka es krim rasa blueberry kan?”
            “Tapi, bagaimana kamu tahu kalo aku suka es krim blueberry?”
            “Cuma feeling aja kok, lagian aku juga suka es krim blueberry.” Senyumnya.
Aku pun perlahan memakan es krim itu. Kenapa dia bisa tahu semua kesukaanku ya? Bagaimana dia bisa tahu? Bahkan Michizuki pun mungkin juga gak tahu hal sekecil ini. Bukankah kita masih baru kenal 2 hari ini, namun seakan dia yang lebih tahu kesukaanku.
Saat melewati sebuah sungai, tiba-tiba Ryota mendekati suangai itu. Aku pun mengikutinya.
            “Liat deh Kinaya, sungainya indah banget ya? Airnya jernih lagi.” ucap Ryota.
            “Iya, airnya jernih. Sampai-sampai aku bisa bercermin dipermukaanya.” Senyumku.
            “Tiap kali ngeliat sungai ini, aku jadi teringat seseorang.” Suaranya sendu.
            “Siapa? Pasti pacar kamu ya?” candaku.
            “Bukan kok, hanya teman aja.”
            “Ayooo, ngaku aja. Pasti pacar kamu kan? Kalo emang dia hanya teman, gak mungkin kamu sampai sesedih itu saat membicarakannya.” Kata-kataku sedikit membuatnya terdiam. “Kenapa kamu sedih? Apa kalian bertengkar?”
            “Gak kok, malahan kita gak pernah bertengkar. Tiap hari kita selalu tersenyum.”
            “Nah terus apa dong masalahnya?” tanyaku penasaran.
Namun tiba-tiba…
            “Udah hampir gelap nih, kita pulang aja yukk. Nanti kamu dicariin loh sama Mamamu.”
Dia mencoba mengalihkan pembicaraan dan hendak beranjak, namun dengan sigap aku langsung menarik tangannya. Dia berbalik tepat didepan wajahku. Saat itu kami saling berhadap-hadapan. Kami pun sejenak langsung terdiam. Seketika pipiku jadi memerah, aku yang tadi sengaja menarik tangannya pun kini diam membisu tak berani menatap wajahnya. Tapi beberapa saat kuberanikan diri membuka mulut…
            “Ma…ma..maaf.” ucapku agak terbata-bata.
Namun tanpa kusadari tangan Ryota membelai pipiku.
            “Pipimu memerah. Aku senang melihat Kinaya yang sedang malu, wajahnya seperti buah tomat aja. Merah segar, jadi pengen gigit pipinya Kinaya.”
Kata-kata itu semakin membuatku malu, tanpa pikir panjang aku pun beranjak pergi dan meninggalkan Ryota. Kuberlari sekencang-kencangnya. Aduhh apa-apa’an aku ini. Gak seharusnya aku tadi menarik tangannya. Pikiranku bener-bener gak karuan.
Sesampainya dirumah aku pun langsung mandi. Segar juga habis lari langsung mandi. Aku merebahkan tubuhku yang hanya memakai handuk ditempat tidur. Malas mau ganti baju, pakai handuk aja deh. Lagipula aku juga udah ngantuk. Aku pun perlahan memejamkan mataku. Beberapa saat mataku terpejam, aku merasa tubuhku sangat berat. Aku mencoba membuka mata…
“Mi…Michizuki.” Kuterkejut. Tubuhnya menindih tepat di atas tubuhku.
“Apa yang kamu lakukan seharian ini?” wajahnya bener-bener serius, gak seperti Michizuki yang kukenal. “Jawab!!!”bentaknya.
“A…aku.”
“Apa kamu berusaha mau ninggalin aku? Apa kamu juga berusaha selingkuhin aku, Kinaya?”
“A..aku.. aku gak bermaksud seperti itu kok.” Ucapku gugup.
“Terus apa? Jalan bareng, ngasih bunga, ngasih es krim, tertawa bersama, dia juga sempat membelai mesra pipimu.” Michizuki, ternyata dia mengikutiku terus.
“Tapi itu gak seperti yang kamu pikir, kami hanya…”
“Hanya apa? Hanya akan bersekongkol dan ninggalin aku, gitu kan?” emosinya.
“Michizuki, dia itu hanya…”
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, tiba-tiba aja bibir Michizuki udah melahap bibirku. Ciumannya sangat liar, sampai-sampai membuat bibirku basah. Aku berusaha melepaskan ciuman itu, namun bibirnya terus saja melumat bibirku. Handuk yang tadi menyelimuti tubuhku, dilepas paksa.
            “Michizuki, hentikan. Hentikan!!!”
Dia memelukku dengan sangat erat, aku berusaha berontak. Tubuhku berusaha melawan kekuatan tubuhnya, namun tetap saja kekuatanku tak sebanding dengan kekuatannya. Dalam sekejap dia pun telah telanjang bulat di atas tubuhku. Tubuhnya menggeliat diatas tubuhku.
            “Michizuki, udah. Hentikan!!! Jangan!!! Jangan lakukan seperti ini lagi.”
Namun perkataanku sama sekali gak dia dengarkan, tubuhnya semakin liar menguasai tubuhku. Cengkeraman tubuhnya semakin kuat dan akhirnya dia pun berhasil mendapatkan tubuhku lagi. bukan hanya sekali, berulang kali dia melakukan itu. Aku begitu lelah, hingga tak sanggup lagi untuk menggerakkan tubuhku.
Kemudian dia pun membelai mesra rambutku, rambut yang basah terkena keringat kami berdua. Dia menatapku dengan sangat lembut. 
Tokk…tokk…tokkk… ada seseorang yang mengetuk pintu kamarku.
            “Kinaya.”
Suara itu tiba-tiba membangunkanku. Kulihat tubuhku masih tak megenakan pakaian, aku pun langsung bergegas memakai piyama dan membuka pintu. Suara siapa ya? Kok kayaknya suara itu gak asing buatku. Saat aku membuka pintu..
            “Selamat pagi, Kinaya.” Suara lembut itu menyapaku dipagi hari.
            “Ryota.” Ucapku sedikit terkejut.
“Waduhh cewek cantik kok bangunnya siang.” Guraunya.
“Kenapa kamu ada disini? Bukankah sekarang hari minggu?”
            “Justru karena hari minggu makanya aku datang kesini.”
            “Memangnya ada apa?” tanyaku heran.
            “Aku mau ngajak Kinaya jalan-jalan.”
            “Jalan-jalan.”
            “Iya jalan-jalan, mumpung sekarang hari minggu. Kinaya mau kan?”
Sejenak aku terdiam. Aku hanya takut Michizuki akan marah lagi kalo dia tahu aku jalan sama Ryota. Tapi aku juga gak enak mau nolak ajakan Ryota, dia kan orangnya baik. Aku jadi gak tega.
            “Hei, Kinaya.” Dia mengagetkanku. “Kamu lagi mikir apa sih?”
            “Ng..nggak kok. Aku gak lagi mikirin apa-apa. Memangnya kita mau jalan-jalan kemana?”
            “Ya kemana aja yang penting bisa bikin Kinaya senang. Kinaya mau kan?”
            “Ya udah kalo gitu, tapi aku harus mandi dulu ya.”
            “Oke, kalo gitu aku nunggu dibawah ya.”
Aku pun membalasnya dengan senyuman. Sebenernya aku takut Michizuki, tapi aku juga gak bisa menolak ajakannya Ryota. Mudah-mudahan saja gak ada masalah lagi.
Selesai mandi dan memakai pakaian, aku pun bergegas turun.
            “Maaf ya Ryota harus nunggu lama.”
            “Nggak apa-apa kok, meski harus nunggu bertahun-tahun juga aku akan tetap setia nunggu Kinaya.” Guraunya. “Ayo kita berangkat.”
Aku pun hanya tersenyum.
            “Ibu. Aku berangkat dulu ya?”
            “Hati-hati di jalan ya.”
Aku hanya mengangguk. Dalam perjalanan kami banyak bercanda bersama, seakan kami sudah lama saling kenal. Namun saat aku hendak meloncati genangan air yang ada di jalan, tiba-tiba saja aku hampir terpeleset. Untungnya dengan sigap Ryota menangkapku.
            “Kamu gak apa-apa?” tanya Ryota cemas.
Wajahnya begitu dekat denganku, matanya yang tajam seakan menusuk jauh ke dalam hatiku. Kenapa? Kenapa jantungku berdebar-debar sekencang ini? Kenapa debarannya sama seperti saat aku bersama Michizuki?
            “Kinaya. Kinaya” panggilannya membuatku terbangun dari lamunanku.
            “I..iya. kenapa?”
            “Kamu gak apa-apa?”
            “Ng..nggak kok. A..aku nggak apa-apa.”
            “Kenapa kata-katamu jadi gugup kayak gitu?”
            “A..aku gak gugup kok, aku Cuma sedikit terkejut.”
            “Ya udah kalo gitu kamu tunggu sebentar disini ya.”
            “Kamu mau kemana?”
            “Udah, kamu tunggu aja disini. Aku akan segera kembali, jangan kemana-kemana loh.”
Dia pun langsung berlari. Sebenranya dia mau kemana sih? Beberapa saat menunggu dia pun kembali berlari dengan sebuah botol minum di tangannya. Hoss…hosss… nafasnya terdengar terengah-engah.
            “Ini minum.”
            “Air putih?”
            “Iya, air putih. Air bisa meredakanmu yang lagi terkejut.”
Sejenak aku pun menatapnya.
            “Hei hei, kenapa kamu menatapku seperti itu? Tenang aja, air itu aman kok. Aku gak memasukkan apapun kedalamnya.”
Aku pun langsung meminumnya. Aku hanya berfikir kenapa Ryota seperhatian ini sama aku? Jauh-jauh dia berlari hanya untuk membelikanku minuman.
            “Makanya lain kali kamu harus lebih berhati-hati.”Senyumnya. “Biar kamu gak terpeleset lagi mungkin akan lebih baik kalo kita berpegangan.”
Dia pun langsung menjabat tanganku. Seketika wajahku memerah, tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya merasakan tangan Ryota sangat lembut. Kami pun kembaIi berjalan, dan tibalah kami di suatu tempat.
            “Wahh taman hiburan.” Kagumku.
            “Kamu senang?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk, aku pun berlari gak sabar mau mencoba semua wahana yang ada disana.
            “Hei, Kinaya. Tunggu. Jangan lari, hati-hati.” Dia mengejarku.
Kami pun naik di wahana kincir raksasa. Didalam kincir itu hanya ada kami berdua. Mataku tak berkedip melihat suasana disekitar taman bermain.
            “Wahh indahnya!!!” kutersenyum pada Ryota.
            “Kamu senang banget taman bermain ya?”
            “Emh.” Jawabku singkat sambil mengangguk.
Aku pun kembali melihat suasana taman itu. Namun saat aku sedang menikmati pemandangan disana, tiba-tiba saja Ryota memelukku dari belakang.
            “Ry..Ryo..ta. A..apa yang kamu lakukan?”
Ku berusaha melepaskan pelukannya, namun dia tak membiarkanku.
            “Aku hanya ingin memeluk sesuatu yang seharusnya jadi milikku.”
            “A..apa maksudmu?”
Dia tak menjawab, kurasakan pelukannya semakin erat di tubuhku. Perlahan kurasakan ketenangan saat dalam pelukannya. Perasaan apa ini? Kenapa begitu damai dan tenang. Aku gak pernah merasakannya sebelumnya, bahkan saat bersama Michizuki aku tak pernah merasakan seperti ini.
Beberapa saat berselang, dia pun perlahan melepaskan pelukannya.
            “Kincirnya udah mau berhenti, ayo kita siap-siap turun.” Namun aku hanya bisa terdiam. “Hei, Kinaya.” Tegurannya membuatku terbangun dalam lamunanku. “Kamu kenapa? Kenapa kamu diam aja?”
“Oh. Ng..nggak apa-apa kok. A..ayo kita turun.”
Aku tak berani memandangnya, aku hanya bisa menunduk. Kami pun terus berjalan-jalan mengelilingi taman bermain itu, tapi mulutku diam seribu bahasa. Tak ada satu pun kata-kata yang bisa ku ucapkan setelah kejadian tadi.
            “Kinaya, kenapa dari tadi kamu terdiam? Kamu gak apa-apa kan? Atau mungkin kamu mau makan, aku belikan makan ya? Apa kamu mau minum?”
“Ng..nggak kok. Aku gak apa-apa.”
“Terus, kenapa dari tadi kamu diam aja?”
“A..aku hanya capek aja kok.”
“Kamu capek? Ya udah kalo gitu kita sekarang pulang aja ya?”
“Nggak usah, nggak usah. Aku baik-baik aja kok.”
Ryota. Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia begitu perhatian? Kenapa juga dia seakan mengerti semua tentangku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar