Jumat, 22 Maret 2013

My Lovers is a Vampire 6


Sesampainya dirumah aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang. Aku menumpahkan semua air mataku di atas bantal. Namun tiba-tiba.....
            “Kinaya.” Suara itu. Aku pun terbangun.
            “Michizuki. Kenapa kamu disini? Ini kamarku, jadi kamu gak bisa keluar masuk seenaknya seperti ini. Keluar, keluar dari kamarku, keluar!” aku mendorong tubuhnya. “Aku gak mau ngeliat kamu lagi.”
            “Kinaya,maaf. Maaf, aku tadi terbawa emosi. Maafin aku. Kalo kalian gak berciuman seperti itu, aku juga gak akan semarah ini. Aku cemburu, aku gak bisa nahan emosiku.” Belanya.
            “Aku gak mau denger lagi, aku mau kamu sekarang pergi. Pergi!” aku berusaha mendorognya, namun dia malah meraih dan menarik tanganku hingga aku jatuh dalam pelukannya.
            “Maafkan aku, Kinaya. Aku bener-bener gak bisa nahan emosi. Aku janji, aku janji gak akan ngelakuin hal kayak gitu lagi. Aku gak akan membahayakan jiwa orang lain lagi, tapi kamu juga harus janji gak akan deketin cowok mana pun.”
Tapi aku langsung melepaskan pelukannya.
            “Gak. Aku gak mau, aku gak mau lagi ngejalanin hubungan sama kamu. Aku udah gak mau lagi berhubungan sama seseorang yang bisa membunuh orang lain dengan seenaknya sendiri. Jadi mending sekarang kamu pergi jauh dari kehidupanku, jangan pernah muncul lagi dihadapanku.”
            “Kinaya. Aku.......”
            “Cukup. Hentikan.” Ku berteriak.
Aku pun langsung merebahkan tubuhku diranjang, dan menutup kepalaku dengan bantal. Untuk beberapa saat kubenamkan wajahku dibantal. Saat aku sudah puas menangis, ku buka perlahan bantal yang menutupi wajahku. Kucoba melihat sekeliling, ternyata dia bener-bener sudah gak ada lagi. Ada sedikit perasaan lega dihatiku.
Aku pun beranjak mandi dan hendak makan malam bersama ibu. Namun saat menuruni tangga, aku mendengar sepertinya ibu lagi ngobrol sama seseorang. “Sepertinya ada tamu.” Pikirku. Aku pun perlahan menuruni tangga itu, dan sesampainya diruang tamu kulihat seorang wanita paruh baya sedang asyik mengobrol dengannya. “Seperti seorang teman yang sangat akrab. Siapa ya wanita itu?” aku penasaran. Perlahan aku mendekat.
            “Kinaya.” Ibu menyapaku. Dan wanita itu pun ikut melihatku. Aku pun langsung terkejut saat melihat wanita itu.
            “Loh, bukannya Anda Ibunya Ryota.” Ucapku kaget.
            “Iya Kinaya.” Senyumnya.
            “Loh, kenapa kamu bisa tahu Ibunya Ryota?” tanya Ibu heran.
            “Beberapa hari yang lalu aku sempat kerumahnya Ryota, dan bertemu sama  Ibunya Ryota.” Jelasku.
            “Oo, Ibu kira kamu mengingatnya.” Ibu sedikit kecewa.
            “Memangnya ada apa, Bu?” tanyaku penasaran. “Ibu sudah lama mengenalnya ya? Kenapa Kinaya gak tahu? Biasanya kalo Ibu punya teman dekat, Kinaya selalu kenal. Tapi kenapa Ibu gak pernah ngenalin Ibunya Ryota ke Kinaya?”
Mereka pun saling bertatapan, seakan-akan bingung mau menjawabnya.
            “Bu, kenapa Ibu malah diam? Apa Kinaya salah bertanya ya?”
Sejenak mereka saling terdiam, namun...
            “Kinaya, sebelumnya Tante minta maaf ya.”
            “Minta maaf. Minta maaf untuk apa?”
Namun mereka hanya menunduk, seakan sedang menyiapkan jawaban untukkku
            “Kinaya, apa kamu bener-bener gak ingat sama Ibunya Ryota.”
Aku hanya menggeleng.
            “Apa kamu juga gak ingat sama Ryota? Maksud Ibu, apa kamu pernah mengenal Ryota sebelumnya?”
            “Gak Bu, aku masih baru mengenal Ryota saat dia masuk ke sekolahku. Sebelumnya aku gak pernah kenal dia. Memang ada apa, Bu?”
Tapi mereka masih tetap saja terdiam.
            “Bu, tolong kasih tahu Kinaya sebenrany ada apa? Kenapa Ibu Cuma diem aja?” Tanyaku penasaran. “Bu, ngomong dong. Jangan bikin Kinaya tambah bingung gini.”
Untuk beberapa saat mereka menatapku dengan rasa kasihan.
            “Baiklah, Kinaya. Ibu akan cerita semua sama kamu, apapun yang perlu kamu tahu. Karena menurut Ibu mungkin inilah saatnya Ibu ungkapin semua, kamu juga perlu tahu yang sebenarnya. Ibu juga gak mau menutupinya terlalu lama.”
Aku pun semakin penasaran.
            “Memangnya ada apa sih, Bu? Kok sepertinya serius banget.”
            “Kinaya. Apa kamu ingat dulu saat masih berumur 7 tahun kamu pernah masuk ke Rumah Sakit?”
            “Iya, Bu. Kinaya inget. Waktu itu Ibu bilang Kinaya terjatuh dari tangga sekolah kan? Makanya lukanya juga cukup parah dan bikin Kinaya harus dirawat intensiif.”
            “Iya, Nak. Ibu memang bilang seperti itu. Tapi, maaf.” Ucapnya sedih.
            “Maaf. Maaf untuk apa, Bu?” tanyaku makin penasaran.
            “I..Ibu bohong sama kamu, Nak.” Ibu gugup.
            “Bohong. Bohong apa, Bu? Bohong masalah apa?”
            “Sebenernya saat itu kamu bukan jatuh dari tangga, tapi kamu kecelakaan.”
            “Kecelakaan? Apa maksud Ibu?”
            “Iya, Nak. Saat itu kamu kecelakaan. Ada sebuah bis yang menabrak kamu, hanya benturan di kepala yang membuat kamu melupakan semua ingatanmu di masa lampau.”
            “Maksud Ibu aku hilang ingatan?”
Ibu hanya mengangguk. Aku pun merasa bingung dan heran, sebuah kenyataan yang baru aku tahu.
            “Kalo memang aku ditabrak bis kenapa aku masih bisa hidup sampek sekarang Bu? Kenapa bisa?”
            “Entahlah, Nak. Ibu juga heran kenapa semua keajaiban itu bisa terjadi. Padahal saat dibawa kerumah sakit benturan dikepalamu cukup parah, bahkan dokter pun mendiagnosa kalo kamu gak akan bisa bertahan lama dengan kondisi benturan kepalamu yang begitu hebat.”
            “Terus, apa hubungannya dengan Ryota Bu?”
            “Dulu saat kalian berumur 5 tahun keluarga Ryota pernah tinggal disini, dia pernah jadi tetangganya kita. Sejak itu, kalian selalu berteman baik. Ryota adalah teman masa kecilmu. Bahkan yang kami lihat, kalian seperti sepasang anak yang gak bisa dipisahkan. Kemana-mana selalu bareng.” Jelas Ibu.
            “Dulu saat belum tinggal disini, Ryota adalah seorang anak yang pendiam dan gak terlalu suka bergaul dengan teman sebayanya. Dia pun juga jarang berbicara dengan kita. Dia hanya bisa mengurung dirinya dikamar. Namun sejak bertemu dengan kamu, dia jadi berubah. Ryota jadi anak yang ceria dan selalu menceritakan apapun yang kalian lakukan selama seharian.  Dia jadi anak yang aktif dan sering berbicara.” Jelas Ibunya Ryota. “Dulu saat kalian masih kecil, kalian paling suka bermain di sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini.”
Sungai? Apa maksudnya sungai yang beberapa kali aku kunjungi bersama Ryota?
            “Tiap hari kalian selalu menghabiskan waktu bersama, sampai suatu hari Ryota pernah mengatakan sesuatu hal yang awalnya kami anggap itu Cuma sebagai candaan seorang anak kecil.” Tambah Ibu Ryota.
            “Kata-kata apa?”
            “Dia pernah bilang kalo dia ingin menikah denganmu. Bahkan dia juga pernah membawamu ke altar dan memberi kamu rangkaian bunga yang dibentuk seperti cincin. Coba bayangin aja, anak sekecil itu bisa mengatakan tentang pernikahan. Pasti semua orang tua akan menganggap itu Cuma candaan, tapi lama kelamaan kami merasa sesuatu yang dia katakan itu bukan Cuma bercanda. Bahkan dia pernah buktiin sendiri rasa sayangnya padamu.”
            “Buktiin?”
            “Iya. Dulu saat sedang ujian, aku sempat melarang dia terlalu sering bermain denganmu. Aku menyuruh dia terus didalam kamar dan belajar. Tapi dia malah males makan dan dia malah gak mau belajar, bahkan dia pernah jatuh sakit karena gak bisa ketemu kamu.” Jelasnya. “Aku pernah tanya padanya, apa yang sebenarnya dia inginkan. Dan dia jawab kalo dia Cuma pengen ketemu kamu tiap hari. Meski gak boleh keluar rumah dan bermain, asalkan kamu tinggal bersama kami dia gak akan males belajar. Akhirnya tante pun ngikutin apa yang dia mau. Karena kita dulu bertetangga jadi gak sulit mindahin kamu kerumah kami. Dan hasilnya saat kamu tinggal dirumah ini, keesokan harinya Ryota udah sembuh dari sakitnya dan gak males belajar lagi. Bahkan dia dapat nilai tertinggi disekolahnya.” Jelas Ibunya Ryota.
            “Benarkah sampai seperti itu, Tante?” tanyaku heran.
            “Benar, Nak. Dulu kalian bener-bener sangat dekat. Bahkan saat kalian tinggal bersam, Ryota mau berbagi kamarnya denganmu. Bisa dibilang kalian bukan hanya teman deket, tapi lebih dari itu. Bahkan semua tetangga bilang kalo kalian itu sepasang suami istri kecil.” Senyum Ibu. “Kalian adalah pasangan yang bener-bener gak bisa terpisahkan. Tapi....” senyum itu tiba-tiba aja berubah jadi kesedihan.
            “Tapi apa, Bu?”
            “Tapi seketika kenangan-kenangan indah selama 2 tahun itu tiba-tiba aja musnah saat kalian berpisah.”
            “Berpisah. Kenapa aku dan Ryota berpisah, Bu?”
            “Suatu hari ada kabar kalo Ayah Ryota akan pindah tugas keluar negeri, jadi otomatis Ryota juga akan dibawa. Mendengar kabar itu, kalian pun sama-sama menangis. Saat aku membawamu kembali kerumah, Ryota menggandeng erat tanganmu. Bahkan saat sudah terpisah rumah, kalian sama-sama gak mau makan selama beberapa hari. Itu membuat tubuh kalian sangat lemah. Kalian ingin tetap tinggal bersama, kalian gak mau dipisahin. Tapi kami gak bisa apa-apa, Ryota harus tetap ikut bersama keluarganya pindah keluar negeri. Dan akhirnya sampailah saat hari dimana Ryota harus pergi. Kamu pun berusaha menyelinap keluar rumah untuk mengejar Ryota ke bandara. Tapi sayang, saat berlari ditengah jalan dengan tubuhmu yang saat itu sangat lemah, kamu pun gak bisa menghindari kecelakaan itu. Kecelakaan yang membuatmu kehilangan semua ingatanmu dan membuatmu koma beberapa hari.” Jelas Ibu.
            “Jadi selama ini Kinaya bukan jatuh dari tangga, Kinaya kecelakaan? Dan Ryota, dia cinta masa kecilku, Bu?” tanyaku sedih. Ibu hanya mengangguk. “Terus, terus kenapa saat aku sadar dari kecelakaan itu Ibu gak langsung cerita? Kenapa baru cerita sekarang, Bu?” air mataku sudah gak bisa terbendung lagi.
            “Maaf, Nak. Ibu gak berani menceritakannya padamu. Karena dokter bilang benturan dikepalamu sangat parah, jadi kalo Ibu mengungkit masa lalumu dokter itu pun khawatir kamu akan jadi depresi dan bisa berakibat fatal buat dirimu sendiri. Makanya itu selama ini Ibu berusaha menutupi semuanya darimu, Nak. Kamu bisa sadar dari koma aja Ibu sudah bersyukur, Ibu gak mau malah membenari pikiranmu.”
Sejenak aku hanya terdiam melepas semua kesedihanku.
            “Tante, Ryota sekarang ada dimana?” tanyaku.
Sebelum dijawab, aku pun langsung meninggalkan mereka dan berlari keluar rumah.
            “Kinaya, kamu mau kemana?” ibuku berteriak.
Tapi aku gak menghiraukannya, aku berlari makin kencang untuk mencari Ryota. Saat berlari, aku pun berusaha mengingat semua kenangan masa laluku bersamanya. Tiba-tiba aja kepalaku jadi pusing, sejenak aku menghentikan lariku. Aku berusaha mengingatnya di masa lalu, meski pun ingatan itu masih samar tapi aku sedikit bisa mengingat tentangnya. Mengingat saat-saat kita bersama. Sekarang aku tahu dia ada dimana. Aku harus mencarinya, aku harus menemuinya. Aku pun melanjuntkan berlari, meksi pun kepalaku terasa sangat sakit tapi aku terus saja berlari.
Dan tibalah aku disebuah sungai yang biasa kami kunjungi, aku berusaha mencarinya disekeliling sungai itu. Tapi Ryota gak ada. Saat aku berbalik dan hendak mencarinya lagi. Kulihat ada seseorang yamg bersandar disebuah pohon di tepian sungai itu. Aku berusaha memastikannya, perlahan aku mendekati orang itu. Ryota. Ternyata bener itu Ryota. Aku pun berlari menghampirinya. Dia pun juga terkejut dengan kedatanganku.
            “Kinaya. Kenapa kamu.....”
Pleshhhhh.. tiba-tiba aku menamparnya dengan keras.
            “Kenapa? Kenapa kamu gak mau bilang semuanya ke aku? Kenapa kamu juga sama, menutupi semua masa lalu kita? Kenapa kamu sepertinya menganggap aku ini seperti orang bodoh yang gak tahu apa-apa? Kenapa!! Kenapa!!!” aku berteriak. Air mataku turun begitu deras. Aku pun berbalik dan hendak pergi, namun tiba-tiba dia memelukku dari belakang.
            “Lepaskan, lepaskan aku.” Aku berusaha berontak.
            “Gak Kinaya, aku gak akan melepasmu. Aku gak akan melepasmu untuk kedua kalinya. Udah cukup selama ini aku kehilangan kamu, udah cukup aku ngelihat kamu bermesraan dengan cowok lain. Udah cukup semuanya. Aku udah gak bisa menahan perasaanku lagi.” Pelukannya semakin erat. Dia pun berusaha membalikkan posisi kepalaku ke arah samping hingga aku bisa melihat dirinya. Perlahan dia mencium bibirku yang basah terkena air mata. Ciuman lembut itu seakan mengisyaratkan kalo saat ini dia bener-bener sangat merindukanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar