Sesampainya dirumah aku langsung
merebahkan tubuhku di ranjang. Aku menumpahkan semua air mataku di atas bantal.
Namun tiba-tiba.....
“Kinaya.”
Suara itu. Aku pun terbangun.
“Michizuki.
Kenapa kamu disini? Ini kamarku, jadi kamu gak bisa keluar masuk seenaknya
seperti ini. Keluar, keluar dari kamarku, keluar!” aku mendorong tubuhnya. “Aku
gak mau ngeliat kamu lagi.”
“Kinaya,maaf.
Maaf, aku tadi terbawa emosi. Maafin aku. Kalo kalian gak berciuman seperti
itu, aku juga gak akan semarah ini. Aku cemburu, aku gak bisa nahan emosiku.”
Belanya.
“Aku
gak mau denger lagi, aku mau kamu sekarang pergi. Pergi!” aku berusaha
mendorognya, namun dia malah meraih dan menarik tanganku hingga aku jatuh dalam
pelukannya.
“Maafkan
aku, Kinaya. Aku bener-bener gak bisa nahan emosi. Aku janji, aku janji gak
akan ngelakuin hal kayak gitu lagi. Aku gak akan membahayakan jiwa orang lain
lagi, tapi kamu juga harus janji gak akan deketin cowok mana pun.”
Tapi aku langsung melepaskan
pelukannya.
“Gak.
Aku gak mau, aku gak mau lagi ngejalanin hubungan sama kamu. Aku udah gak mau
lagi berhubungan sama seseorang yang bisa membunuh orang lain dengan seenaknya
sendiri. Jadi mending sekarang kamu pergi jauh dari kehidupanku, jangan pernah
muncul lagi dihadapanku.”
“Kinaya.
Aku.......”
“Cukup.
Hentikan.” Ku berteriak.
Aku pun langsung merebahkan tubuhku
diranjang, dan menutup kepalaku dengan bantal. Untuk beberapa saat kubenamkan
wajahku dibantal. Saat aku sudah puas menangis, ku buka perlahan bantal yang
menutupi wajahku. Kucoba melihat sekeliling, ternyata dia bener-bener sudah gak
ada lagi. Ada sedikit perasaan lega dihatiku.
Aku pun beranjak mandi dan hendak
makan malam bersama ibu. Namun saat menuruni tangga, aku mendengar sepertinya
ibu lagi ngobrol sama seseorang. “Sepertinya ada tamu.” Pikirku. Aku pun
perlahan menuruni tangga itu, dan sesampainya diruang tamu kulihat seorang
wanita paruh baya sedang asyik mengobrol dengannya. “Seperti seorang teman yang
sangat akrab. Siapa ya wanita itu?” aku penasaran. Perlahan aku mendekat.
“Kinaya.”
Ibu menyapaku. Dan wanita itu pun ikut melihatku. Aku pun langsung terkejut
saat melihat wanita itu.
“Loh,
bukannya Anda Ibunya Ryota.” Ucapku kaget.
“Iya
Kinaya.” Senyumnya.
“Loh,
kenapa kamu bisa tahu Ibunya Ryota?” tanya Ibu heran.
“Beberapa
hari yang lalu aku sempat kerumahnya Ryota, dan bertemu sama Ibunya Ryota.” Jelasku.
“Oo,
Ibu kira kamu mengingatnya.” Ibu sedikit kecewa.
“Memangnya
ada apa, Bu?” tanyaku penasaran. “Ibu sudah lama mengenalnya ya? Kenapa Kinaya
gak tahu? Biasanya kalo Ibu punya teman dekat, Kinaya selalu kenal. Tapi kenapa
Ibu gak pernah ngenalin Ibunya Ryota ke Kinaya?”
Mereka pun saling bertatapan, seakan-akan
bingung mau menjawabnya.
“Bu,
kenapa Ibu malah diam? Apa Kinaya salah bertanya ya?”
Sejenak mereka saling terdiam,
namun...
“Kinaya,
sebelumnya Tante minta maaf ya.”
“Minta
maaf. Minta maaf untuk apa?”
Namun mereka hanya menunduk, seakan
sedang menyiapkan jawaban untukkku
“Kinaya,
apa kamu bener-bener gak ingat sama Ibunya Ryota.”
Aku hanya menggeleng.
“Apa
kamu juga gak ingat sama Ryota? Maksud Ibu, apa kamu pernah mengenal Ryota
sebelumnya?”
“Gak
Bu, aku masih baru mengenal Ryota saat dia masuk ke sekolahku. Sebelumnya aku
gak pernah kenal dia. Memang ada apa, Bu?”
Tapi mereka masih tetap saja terdiam.
“Bu,
tolong kasih tahu Kinaya sebenrany ada apa? Kenapa Ibu Cuma diem aja?” Tanyaku penasaran.
“Bu, ngomong dong. Jangan bikin Kinaya tambah bingung gini.”
Untuk beberapa saat mereka menatapku
dengan rasa kasihan.
“Baiklah,
Kinaya. Ibu akan cerita semua sama kamu, apapun yang perlu kamu tahu. Karena menurut
Ibu mungkin inilah saatnya Ibu ungkapin semua, kamu juga perlu tahu yang
sebenarnya. Ibu juga gak mau menutupinya terlalu lama.”
Aku pun semakin penasaran.
“Memangnya
ada apa sih, Bu? Kok sepertinya serius banget.”
“Kinaya.
Apa kamu ingat dulu saat masih berumur 7 tahun kamu pernah masuk ke Rumah
Sakit?”
“Iya,
Bu. Kinaya inget. Waktu itu Ibu bilang Kinaya terjatuh dari tangga sekolah kan?
Makanya lukanya juga cukup parah dan bikin Kinaya harus dirawat intensiif.”
“Iya,
Nak. Ibu memang bilang seperti itu. Tapi, maaf.” Ucapnya sedih.
“Maaf.
Maaf untuk apa, Bu?” tanyaku makin penasaran.
“I..Ibu
bohong sama kamu, Nak.” Ibu gugup.
“Bohong.
Bohong apa, Bu? Bohong masalah apa?”
“Sebenernya
saat itu kamu bukan jatuh dari tangga, tapi kamu kecelakaan.”
“Kecelakaan?
Apa maksud Ibu?”
“Iya,
Nak. Saat itu kamu kecelakaan. Ada sebuah bis yang menabrak kamu, hanya benturan
di kepala yang membuat kamu melupakan semua ingatanmu di masa lampau.”
“Maksud
Ibu aku hilang ingatan?”
Ibu hanya mengangguk. Aku pun merasa
bingung dan heran, sebuah kenyataan yang baru aku tahu.
“Kalo
memang aku ditabrak bis kenapa aku masih bisa hidup sampek sekarang Bu? Kenapa bisa?”
“Entahlah,
Nak. Ibu juga heran kenapa semua keajaiban itu bisa terjadi. Padahal saat
dibawa kerumah sakit benturan dikepalamu cukup parah, bahkan dokter pun mendiagnosa
kalo kamu gak akan bisa bertahan lama dengan kondisi benturan kepalamu yang
begitu hebat.”
“Terus,
apa hubungannya dengan Ryota Bu?”
“Dulu
saat kalian berumur 5 tahun keluarga Ryota pernah tinggal disini, dia pernah
jadi tetangganya kita. Sejak itu, kalian selalu berteman baik. Ryota adalah
teman masa kecilmu. Bahkan yang kami lihat, kalian seperti sepasang anak yang
gak bisa dipisahkan. Kemana-mana selalu bareng.” Jelas Ibu.
“Dulu
saat belum tinggal disini, Ryota adalah seorang anak yang pendiam dan gak
terlalu suka bergaul dengan teman sebayanya. Dia pun juga jarang berbicara
dengan kita. Dia hanya bisa mengurung dirinya dikamar. Namun sejak bertemu
dengan kamu, dia jadi berubah. Ryota jadi anak yang ceria dan selalu
menceritakan apapun yang kalian lakukan selama seharian. Dia jadi anak yang aktif dan sering berbicara.”
Jelas Ibunya Ryota. “Dulu saat kalian masih kecil, kalian paling suka bermain
di sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini.”
Sungai? Apa maksudnya sungai yang
beberapa kali aku kunjungi bersama Ryota?
“Tiap
hari kalian selalu menghabiskan waktu bersama, sampai suatu hari Ryota pernah
mengatakan sesuatu hal yang awalnya kami anggap itu Cuma sebagai candaan
seorang anak kecil.” Tambah Ibu Ryota.
“Kata-kata
apa?”
“Dia
pernah bilang kalo dia ingin menikah denganmu. Bahkan dia juga pernah membawamu
ke altar dan memberi kamu rangkaian bunga yang dibentuk seperti cincin. Coba bayangin
aja, anak sekecil itu bisa mengatakan tentang pernikahan. Pasti semua orang tua
akan menganggap itu Cuma candaan, tapi lama kelamaan kami merasa sesuatu yang
dia katakan itu bukan Cuma bercanda. Bahkan dia pernah buktiin sendiri rasa
sayangnya padamu.”
“Buktiin?”
“Iya.
Dulu saat sedang ujian, aku sempat melarang dia terlalu sering bermain denganmu.
Aku menyuruh dia terus didalam kamar dan belajar. Tapi dia malah males makan
dan dia malah gak mau belajar, bahkan dia pernah jatuh sakit karena gak bisa
ketemu kamu.” Jelasnya. “Aku pernah tanya padanya, apa yang sebenarnya dia
inginkan. Dan dia jawab kalo dia Cuma pengen ketemu kamu tiap hari. Meski gak boleh
keluar rumah dan bermain, asalkan kamu tinggal bersama kami dia gak akan males
belajar. Akhirnya tante pun ngikutin apa yang dia mau. Karena kita dulu
bertetangga jadi gak sulit mindahin kamu kerumah kami. Dan hasilnya saat kamu
tinggal dirumah ini, keesokan harinya Ryota udah sembuh dari sakitnya dan gak
males belajar lagi. Bahkan dia dapat nilai tertinggi disekolahnya.” Jelas Ibunya
Ryota.
“Benarkah
sampai seperti itu, Tante?” tanyaku heran.
“Benar,
Nak. Dulu kalian bener-bener sangat dekat. Bahkan saat kalian tinggal bersam,
Ryota mau berbagi kamarnya denganmu. Bisa dibilang kalian bukan hanya teman
deket, tapi lebih dari itu. Bahkan semua tetangga bilang kalo kalian itu
sepasang suami istri kecil.” Senyum Ibu. “Kalian adalah pasangan yang
bener-bener gak bisa terpisahkan. Tapi....” senyum itu tiba-tiba aja berubah
jadi kesedihan.
“Tapi
apa, Bu?”
“Tapi
seketika kenangan-kenangan indah selama 2 tahun itu tiba-tiba aja musnah saat
kalian berpisah.”
“Berpisah.
Kenapa aku dan Ryota berpisah, Bu?”
“Suatu
hari ada kabar kalo Ayah Ryota akan pindah tugas keluar negeri, jadi otomatis
Ryota juga akan dibawa. Mendengar kabar itu, kalian pun sama-sama menangis. Saat
aku membawamu kembali kerumah, Ryota menggandeng erat tanganmu. Bahkan saat
sudah terpisah rumah, kalian sama-sama gak mau makan selama beberapa hari. Itu membuat
tubuh kalian sangat lemah. Kalian ingin tetap tinggal bersama, kalian gak mau
dipisahin. Tapi kami gak bisa apa-apa, Ryota harus tetap ikut bersama keluarganya
pindah keluar negeri. Dan akhirnya sampailah saat hari dimana Ryota harus
pergi. Kamu pun berusaha menyelinap keluar rumah untuk mengejar Ryota ke
bandara. Tapi sayang, saat berlari ditengah jalan dengan tubuhmu yang saat itu
sangat lemah, kamu pun gak bisa menghindari kecelakaan itu. Kecelakaan yang
membuatmu kehilangan semua ingatanmu dan membuatmu koma beberapa hari.” Jelas Ibu.
“Jadi
selama ini Kinaya bukan jatuh dari tangga, Kinaya kecelakaan? Dan Ryota, dia
cinta masa kecilku, Bu?” tanyaku sedih. Ibu hanya mengangguk. “Terus, terus
kenapa saat aku sadar dari kecelakaan itu Ibu gak langsung cerita? Kenapa baru
cerita sekarang, Bu?” air mataku sudah gak bisa terbendung lagi.
“Maaf,
Nak. Ibu gak berani menceritakannya padamu. Karena dokter bilang benturan
dikepalamu sangat parah, jadi kalo Ibu mengungkit masa lalumu dokter itu pun
khawatir kamu akan jadi depresi dan bisa berakibat fatal buat dirimu sendiri. Makanya
itu selama ini Ibu berusaha menutupi semuanya darimu, Nak. Kamu bisa sadar dari
koma aja Ibu sudah bersyukur, Ibu gak mau malah membenari pikiranmu.”
Sejenak aku hanya terdiam melepas
semua kesedihanku.
“Tante,
Ryota sekarang ada dimana?” tanyaku.
Sebelum dijawab, aku pun langsung
meninggalkan mereka dan berlari keluar rumah.
“Kinaya,
kamu mau kemana?” ibuku berteriak.
Tapi aku gak menghiraukannya, aku
berlari makin kencang untuk mencari Ryota. Saat berlari, aku pun berusaha
mengingat semua kenangan masa laluku bersamanya. Tiba-tiba aja kepalaku jadi
pusing, sejenak aku menghentikan lariku. Aku berusaha mengingatnya di masa
lalu, meski pun ingatan itu masih samar tapi aku sedikit bisa mengingat
tentangnya. Mengingat saat-saat kita bersama. Sekarang aku tahu dia ada dimana.
Aku harus mencarinya, aku harus menemuinya. Aku pun melanjuntkan berlari, meksi
pun kepalaku terasa sangat sakit tapi aku terus saja berlari.
Dan tibalah aku disebuah sungai yang
biasa kami kunjungi, aku berusaha mencarinya disekeliling sungai itu. Tapi Ryota
gak ada. Saat aku berbalik dan hendak mencarinya lagi. Kulihat ada seseorang
yamg bersandar disebuah pohon di tepian sungai itu. Aku berusaha memastikannya,
perlahan aku mendekati orang itu. Ryota. Ternyata bener itu Ryota. Aku pun
berlari menghampirinya. Dia pun juga terkejut dengan kedatanganku.
“Kinaya.
Kenapa kamu.....”
Pleshhhhh.. tiba-tiba aku menamparnya
dengan keras.
“Kenapa?
Kenapa kamu gak mau bilang semuanya ke aku? Kenapa kamu juga sama, menutupi
semua masa lalu kita? Kenapa kamu sepertinya menganggap aku ini seperti orang
bodoh yang gak tahu apa-apa? Kenapa!! Kenapa!!!” aku berteriak. Air mataku
turun begitu deras. Aku pun berbalik dan hendak pergi, namun tiba-tiba dia
memelukku dari belakang.
“Lepaskan,
lepaskan aku.” Aku berusaha berontak.
“Gak
Kinaya, aku gak akan melepasmu. Aku gak akan melepasmu untuk kedua kalinya. Udah
cukup selama ini aku kehilangan kamu, udah cukup aku ngelihat kamu bermesraan
dengan cowok lain. Udah cukup semuanya. Aku udah gak bisa menahan perasaanku
lagi.” Pelukannya semakin erat. Dia pun berusaha membalikkan posisi kepalaku ke
arah samping hingga aku bisa melihat dirinya. Perlahan dia mencium bibirku yang
basah terkena air mata. Ciuman lembut itu seakan mengisyaratkan kalo saat ini
dia bener-bener sangat merindukanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar